Malam tak setenang malam sebelumnya. Hari ini hujan ikut meramaikan tengah malam di Vancouver Kanada. Orang-orang tengah tertidur lelap. Ada pula yang tengah terjaga karena adanya pekerjaan yang belum terselesaikan maupun tak bisa tidur. Salah satu dari orang-orang tersebut adalah Park Jimin.
Pemuda berdarah korea yang tengah menempuh pendidikan di Kanada itu tak bisa tidur lantaran banyaknya tugas sekolah yang menumpuk. Ia berencana menyelesaikan tugas-tugas tersebut dalam semalam agar ia bisa bersantai setelahnya. Namun apa daya, kelopak mata Jimin terasa semakin berat saja seiring dengan berjalannya waktu. Segelas kopi hitam pahit yang tandas beberapa menit lalu juga tak mampu membuat Jimin terjaga. Hingga pada akhirnya ia menyerah dan memilih berlari masuk ke alam bawah sadarnya, tidur.
Suara gemuruh halilintar membuat Jimin tersentak. Pemuda itu menoleh pada jendela kamar yang saat ini terbuka lebar, mempersilahkan angin dan air masuk secara leluasa.
Dengan malas, Jimin menyeret kakinya menuju jendela. Masih dengan mata setengah tertutup dan wajah suntuk, Jimin menutup jendela, hendak menguncinya agar tak terbuka dan mengganggu tidurnya lagi.
Gerakan Jimin terhenti ketika mendengar suara ketukan. Tidak, bukan di pintu, melainkan di jendela. Ya, jendela tepat di hadapan Jimin.
Gulp...
Jimin meneguk ludah susah payah. Seingat Jimin, kamarnya berada di lantai 3 apartemen milik Ayahnya. Rasanya tidak mungkin bila seseorang mau memanjat dinding setinggi itu di tengah malam seperti ini. Dan malam itu tengah hujan, pasti dindingnya akan terasa licin.
Ketukan itu kembali terdengar, meyakinkan Jimin bahwa itu bukan halusinasi semata. Mengumpulkan seluruh keberanian yang ia punya, Jimin perlahan mendongak. Jantung Jimin serasa meloncat dari tempatnya ketika melihat seorang pria berjaket hitam dengan masker berwarna hitam yang hanya memperlihatkan kedua mata tajam sehitam arang tengah berdiri tepat di balik jendela. Gemuruh kilat yang datang ikut menambah kesan horor pada pria itu.
Jimin mengelus dada, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang kelewat cepat. "Ya Tuhan, Jungkook. Tak bisakah kau menghentikan kebiasaanmu muncul secara tiba-tiba? Kau mengejutkanku," omel pemuda bermata sipit itu.
Memutar bola mata, Jungkook menarik turun masker yang menutupi setengah wajahnya. "Cepat buka, bodoh. Aku tak bisa bertahan lebih lama dari ini. Jika aku mati karena terjatuh dari sini maka aku akan menghantuimu."
Jimin yang masih dapat mendengar suara Jungkook segera membuka kembali jendela kamar tidurnya, mempersilahkan Jungkook masuk lewat jendela. "Hei, Jungkook. Untuk apa kau datang kemari pada tengah malam dan hujan seperti ini? Ada apa denganmu sebenarnya? Apa kau sudah gila?"
Terdengar helaan nafas. Gerakan Jungkook yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket terhenti. Ia menoleh pada Jimin. "Aku akan pulang. Kau ikut?"
"Pulang?" Jimin mengulang, tak yakin dengan pengertian kata itu dipikirannya. Namun tak butuh waktu lama bagi Jimin untuk mengerti maksud Jungkook yang sesungguhnya. Jadi tanpa perlu berpikir dua kali, Jimin langsung menjawab, "Tentu saja aku ikut. Anak manja sepertimu tak bisa dibiarkan berkeliaran sendirian." Jimin menyeringai mengejek.
Salah satu sudut bibir Jungkook tertarik. "You can call me like that once again and I'm sure I will kill you this time."
Jungkook menjeda sejenak, mengamati Jimin dengan tatapan menimbang bagaimanakah cara terbaik untuk menghabisi pemuda itu layaknya psikopat, membuat Jimin bergidik.
"Wanna try once?" tawar Jungkook, enteng.
"Are you kidding? Aku hanya punya satu nyawa! Jika pun aku punya dua aku tak mau membiarkannya hilang sia-sia karenamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before and After
FanfictionApa reaksimu jika kau melihat sesuatu yang seharusnya tidak bisa kau lihat? Misalnya hantu mungkin? Lalu bagaimana jika kau diberi kesempatan untuk melihat hal-hal semacam itu? Hampir seluruh orang akan menolak kesempatan tersebut. Sialnya, Chaeyeo...