Part 2

270K 19.1K 904
                                    

"Ibu ... Ibuuu ...."

Nara mengerjap, begitu juga Argan. Mereka terbangun karena mendengar teriakan Sakha yang terdengar nyaring.

"Astaghfirullah ...." Argan turun dari ranjang dan segera bergegas menuju kamar anaknya.

Nara menyusul, ingin tahu apa yang terjadi pada anak tirinya.

Nara mematung, mengamati Sakha yang menangis sesenggukan sementara Argan memeluk tubuhnya erat. Ia mengusap-usap punggung putranya.

"Kamu cuma mimpi, Sakha. Tidur lagi, ya. Tidak terjadi apa-apa." Argan berusaha menenangkan putranya.

Tiga tahun berlalu. Argan pikir, kejadian tragis itu tak akan lagi mengusik pikiran Sakha. Nyatanya, ia salah besar. Betapa satu kejadian tragis itu telah menghancurkan kehidupan anaknya, memporak-porandakan kondisi psikisnya. Argan hanya bisa menangis dalam diam, tanpa seorang pun tahu. Ia emban semua beban itu sendiri. Siapa yang tak bersedih melihat buah hati tercinta menanggung trauma hingga membalikkan karakternya 180 derajat. Argan merindukan Sakha yang tertawa lepas, bermain bola bersama teman-temannya, dan terbuka bercerita apa pun padanya. Anak itu menjadi pemurung, antisosial, temperamen, terkadang meledak-ledak saat marah, dan di sisi lain bisa sedemikian rapuh dan menangis tersedu-sedu tanpa bisa dihibur.

Sakha baru lima tahun kala mendapati sang ibu meregang nyawa di dalam bathub. Siapa yang tak akan trauma? Sungguh anak sekecil itu belum bisa menyikapi segala sesuatu secara dewasa. Yang ia tahu, ibunya meninggal dan darahnya bercampur dengan air dalam bathub, begitu mengerikan di matanya. Ia tak bertanya kenapa ibunya melakukannya, kenapa wanita yang paling berharga dalam hidupnya memutuskan membunuh dirinya sendiri. Ia tak bertanya akan hal itu. Hanya terngiang satu fakta yang mengelayut dalam benak, ibunya meninggal dan banyak darah.

Anak itu trauma hebat hingga selalu berteriak histeris kala melihat bathub. Argan memutuskan untuk tak lagi menggunakan bathub dalam kamar mandi. Ia singkirkan semua hal yang mengingatkan anak itu pada kejadian tragis yang menimpa ibunya. Argan meminta bantuan tukang menghancurkan kamar mandi tempat istrinya mengakhiri hidupnya dan membangun kamar mandi pengganti di pojok ruangan yang lain.

Anak itu menjerit histeris dan berteriak-teriak ketakutan setiap kali terluka dan berdarah, entah jatuh hingga lututnya berdarah atau tak sengaja teriris pisau kala ia mengupas buah. Ia selalu ketakutan melihat darah. Kecemasan menyergapnya sewaktu-waktu, panik menyerangnya tiba-tiba terlebih jika ia teringat akan kejadian tragis itu. Psikiater mendiagnosa dia memiliki anxiety disorder, gangguan kecemasan. Seiring berjalannya waktu, anxiety-nya sudah berkurang, tapi tidak dengan traumanya.

Sakha masih sering bermimpi buruk, bermimpi akan kematian ibunya. Sepanjang hari hidupnya serasa dihantui ketakutan akan sakitnya kehilangan. Sejak kematian ibunya, sejak itu pula, dunianya berubah drastis. Sepakbola tak lagi menjadi hal menyenangkan untuknya. Berkumpul bersama teman-temannya tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan sejak teman-temannya sering kali berceloteh, 'ibunya Sakha bunuh diri', 'ibunya Sakha meninggal di kamar mandi', 'aku nggak mau main ke rumah Sakha, di sana banyak setannya. Ibunya kan mati bunuh diri'. Sakha merasa ikut terhakimi ketika orang-orang di sekitar menanyakan perihal kematian ibunya. Ia menarik diri dari pergaulan. Ia lebih suka mengurung di kamar dan dia tak memiliki teman akrab. Sakha membatasi diri dan memang tak menginginkan seorang teman.

"Sakha sekarang tidur lagi, ya?" Argan memegang kedua lengan putranya dan menatapnya lembut.

"Ayah apa Ibu bisa masuk surga? Kata ustaz orang yang melakukan bunuh diri telah melakukan dosa besar dan kelak dimasukkan ke neraka jahanam. Ia akan disiksa dengan apa yang ia gunakan untuk bunuh diri, selama-lamanya." Tangis Sakha semakin keras dan menyayat.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang