part 24

196K 14K 487
                                    

Nara dan Argan berbelanja di salah satu supermarket. Nara memilih barang-barang kebutuhan untuk menyambut kedatangan orang tuanya sekaligus bekal untuk KKN nanti. Argan mendorong troli dan memerhatikan cara Nara memilih barang yang ia inginkan. Setiap memilih makanan kemasan, dia selalu membaca komposisi di belakang kemasan.

“Na, semua mie instant sama, 'kan? Lama banget milihnya. Lagipula saat KKN nanti, aku lebih suka kamu makan makanan yang sehat, yang dimasakin sama ibu pemilik rumah yang nanti bakal jadi tempat kamu dan teman-teman kamu tinggal.”

Nara melirik suaminya. “Nara milih yang kandungan lemaknya paling kecil. Nara bawa bekal mie instant buat jaga-jaga saja kalau malam-malam Nara lapar. Bawa banyak karena buat dibagi ke teman-teman juga. Nara kan nanti tinggal di kampung. Katanya kalau malam, jarang ada penjual lewat dan sinyal juga agak susah.”

Argan tersenyum. “Dulu waktu aku KKN, perasaan santai aja. Bawa baju seperlunya, bekal seperlunya, biar nggak kebanyakan bawa baju, nanti sering-sering nyuci saja.”

Nara tersenyum. “Cowok sama cewek mah beda, Mas. Cewek jelas lebih ribet. Contoh aja baju. Pakaian cewek kan punya banyak jenis. Pakaian dalam aja ada dua jenis, baju juga ada gamis, kerudung, ciput, celana daleman gamis, baju tidur, mukena juga nggak boleh lupa, belum lagi kayak alat mandi, produk skincare, kalau yang suka make up, bawa alat make up juga.”

Argan hanya manggut-manggut. Perempuan itu selalu sepaket dengan keribetan dan kecerewetannya. Seusai memilih mie instant, Nara melangkah menuju rak cemilan. Matanya berbinar melihat aneka cemilan.

“Nara mau bawa kuaci juga, Mas. Kacang atom juga, keripik singkong, potato chip, biskuit, coklat ....”

“Banyak banget, Na. Kalau ingin cemilan kamu bisa beli di sana, 'kan? Ini semua bakal menuh-menuhin barang bawaan kamu,” ucap Argan lagi.

“Ih, Mas Argan. Ini buat jaga-jaga kalau Nara pingin ngemil malam-malam. Kan bukan cuma dimakan Nara, tapi juga dimakan teman-teman. Jadi mesti sedia banyak.” Nara mengulas senyum cerianya.

“Memangnya satu tim itu ada berapa orang?” Argan mengernyit.

“Sepuluh. Lima cowok, lima cewek. Tapi nanti cewek dan cowok tinggal di rumah terpisah. Cewek tinggal di rumah Pak Kades, kalau cowoknya tinggal di rumah Pak Kaur.”

Tiba-tiba nama Bastian melintas begitu saja di benak Argan.

“Penggemar rahasiamu si Bastian dapet tempat di mana?”

Glek ....

Nara tak menyangka suaminya akan menanyakan hal ini. Bagaimana bisa ia menanyakan soal Bastian. Rasanya berat untuk sekadar memberi tahu bahwa ia satu lokasi bersama Bastian.

“Bastian ... satu lokasi sama aku.”

Seketika Argan menganga. Ia seperti mendengar dentuman bom yang membuatnya kaget setengah mati. Bagaimana bisa Nara menyembunyikan hal ini darinya? Dia pikir jika dia tak menanyakan, kemungkinan Nara tak akan pernah memberi tahu sampai hari keberangkatannya tiba.

“Kok kamu nggak cerita, Na? Kalau aku nggak nanya, kamu pasti nggak akan ngasih tahu.”

Nara sedikit gelagapan. Ia sama sekali tak bermaksud menyembunyikannya dari Argan. Hanya saja ia pikir hal ini bukan urusan penting.

“Aku nggak bermaksud menyembunyikan dari Mas. Aku pikir, ini bukan sesuatu yang penting untuk dibahas.” Nara mengamati perubahan raut wajah Argan yang terlihat cemberut.

“Kalau aku tahu dari dulu, aku bisa minta ke koordinatornya biar kamu dan Bastian tidak ditempatkan di lokasi yang sama.” Argan masih memasang tampang kesal.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang