Part 7

311K 19.1K 1.2K
                                    

Argan mengambil secarik kertas itu dengan tangan gemetar. Waktu seakan tengah mempermainkannya, kembali mengajaknya bermain ke masa lalu tatkala hatinya sudah tumbuh benih cinta untuk Nara. Tentu ia masih ingin tahu motif bunuh diri almarhumah Mareta. Hanya saja, rasa sakit dan pedih itu sedikit terobati dengan kehadiran Nara.

Kadang ia merasa, apakah tak mengapa jika dia sudah mampu membuka hatinya untuk Nara di saat ia belum menemukan jawaban atas penyebab Mareta mengakhiri hidupnya? Apa dia bukan tipikal laki-laki yang teguh pendirian di saat ia menyadari bahwa dia mungkin telah jatuh cinta pada gadis sembilan belas tahun itu? Tentu dia tidak berselingkuh. Mareta telah berpulang tiga tahun yang lalu. Atau adakah batas waktu yang tepat untuk dijadikan patokan bahwa seseorang harus harus bisa move on dari masa lalu? Tiga tahun? Terlalu singkatkah? Yang ia ingat, ia menikah dengan Mareta karena perjodohan dan selama berumah tangga dengannya, rasa sayang terbangun karena memang waktu yang telah membiasakan interaksi diantara keduanya. Berbeda dengan perasaannya pada Nara yang tumbuh begitu saja tanpa bisa ia cegah di usia pernikahan yang masih sangat awal ini. Dan perasaannya saat ini begitu menggebu-gebu pada gadis itu.

Argan membuka pelan lipatan secarik kertas yang Mareta sisipkan di halaman tiga puluh dari novel itu.

Argan membaca rentetan huruf yang ia hafal benar, itu adalah tulisan tangan Mareta. Dadanya berdebar dan bergetar hebat. Seperti ada yang tengah mengaduk-aduk isi hati dan perutnya. Entah kenapa, perutnya seakan mulas, bukan mulas karena sakit perut ataupun ingin ke belakang. Mulas yang ia tak tahu entah kenapa, datangnya bersamaan dengan degup jantung yang semakin kencang.

Kepada angin malam yang membuat tubuh ini mencekam...
Entahlah, aku seperti kehilangan sandaran.
Kehilangan diriku yang lama.
Kemana lagi harus kurengkuh, jutaan asa yang dulu pernah tergantung...
Seakan menungguku untuk memetiknya.
Namun semua harus terkubur...
Dalam...dalam... Dan begitu dalam...

Waktu terbukti tak pernah menyembuhkan.
Luka semakin menganga dan menggerogoti ketakutanku.
Kamu tahu? Semua itu tak sepadan...
Aku bahkan sudah mati, meski saat ini pikiranku berkelana untuk mengakhiri semua.

Argan tercekat membaca kata demi kata yang tertulis. Meski ia akui, masih banyak yang janggal dan ia pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Mareta, tapi jelas dua penggal bait curahan hati menceritakan ada luka yang sudah lama Mareta pendam. Kini ia merasa semakin bersalah. Bisa jadi, dia sudah menyakiti hati Mareta tanpa ia sadari.

******

Argan melangkah gontai di sepanjang koridor. Saat Lusi bertandang ke rumahnya, dia sempat mengenalkan Nara padanya. Ia bisa melihat raut keterkejutan Lusi saat menjabat tangan Nara. Argan bisa menebak, Lusi pasti terkejut mendapati fakta bahwa Nara terpaut tiga belas tahun lebih muda darinya.

Argan cukup terbuka pada Nara. Ia ceritakan tentang secarik kertas tulisan Mareta padanya. Ia berjanji akan membicarakan semua lebih detail dengan Nara menjelang tidur. Waktu tidak mendukung untuk bercerita saat itu juga, baik dia maupun Nara harus segera berangkat ke kampus.

Argan memasuki kelas. Para mahasiswa yang awalnya gaduh seketika kembali ke tempatnya masing-masing. Sosok Argan dikenal sebagai dosen yang berwibawa, disiplin, dan tegas. Wajah tampan dan perawakan tinggi tegapnya kerap menjadi daya tarik tersendiri bagi pada mahasiswi yang betah berlama-lama memandangnya kala Argan menerangkan mata kuliah. Ia salah satu dosen idola di fakultas pertanian khususnya program studi Agribisnis.

Argan mengucap salam. Para mahasiswa menjawab serempak.

"Bagaimana tugas kalian yang kemarin? Sudah selesai atau belum?" Argan mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang