Part 5

267K 20.3K 1.9K
                                    


Nara melangkah menuju kamar. Ia melirik Argan yang sudah terbaring dengan baju piyamanya. Nara membuka lemari, mencari gaun tidur, lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia masih sungkan berganti baju saat ada Argan bersamanya. Di dalam kamar mandi, ia tak hanya berganti baju, tapi juga mencuci muka dan menggosok gigi.

Nara keluar dari kamar mandi. Ia ragu untuk merebahkan badan di ranjang. Namun akan sangat tidak etis jika dia memilih tidur di luar kamar.

Nara merangkak naik ke ranjang dan duduk sebentar. Ia mengamati punggung suaminya yang begitu tegap. Kedua kaki Argan sedikit meringkuk. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.

Nara tahu, Argan belum terpejam. Ia tahu, laki-laki itu sengaja mendiamkannya untuk memberinya pelajaran.

"Pak... maksudku, Mas, Aku minta maaf karena sudah berbohong."

Argan mendengarnya. Dia memutuskan untuk tetap bertahan dengan posisinya dan melihat reaksi Nara selanjutnya. Gadis itu masih labil, keras kepala, ngeyel, dan susah dinasihati. Dia butuh trik dan proses yang tidak sebentar untuk mengajak Nara berjalan di jalur yang benar. Dan ia paham, di usia Nara yang masih sembilan belas, wajar jika dirinya masih labil dan ingin bersenang-senang dengan teman-temannya. Bagaimanapun juga, Nara menikah dengannya karena terpaksa. Terlihat jelas, ia masih ingin menikmati masa mudanya dengan caranya.

"Mas... Mas denger nggak sih? Aku tahu Mas belum tidur. Mas lupa sama kesepakatan kita? Ada poin tentang hak aku untuk menjadi diri sendiri dan Mas nggak akan melarangku bergaul dengan teman-teman. Kenapa sekarang Mas ingin mengatur kehidupanku? Bukankah kita nggak perlu menganggap pernikahan ini sungguhan? Mas lupa dengan kesepakatan kita?"

Argan bangun dari posisinya. Ia menatap Nara dengan ekspresi yang tak terbaca oleh gadis itu. Nara merasa tengah dikuliti habis-habisan. Ia tak berani menatap Argan. Wajahnya menunduk.

"Tentu aku masih ingat dengan poin-poin yang kamu ajukan." Argan membalikkan badan dan menarik laci nakas. Ia mengambil secarik kertas.

"Poin pertama Jangan sentuh saya sampai saya wisuda, saya tak mau hamil sebelum lulus. Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya." Argan membacakan kembali poin-poin yang selalu saja diungkit-ungkit oleh istrinya.

"Kamu ingin kita tetap menjalankan poin itu? Benar kamu ingin seperti itu?" Argan menekankan setiap kata yang ia lontarkan seolah menjadi cara lain untuk meminta Nara berpikir ulang.

Nara mengangguk. "Ya," balas Nara mantap dan yakin.

Argan mengangguk berulang. "Baik. Aku ikuti permainan kamu. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Aku rasa aku tahu siapa yang harus aku pacari. Yang lebih dewasa dari kamu tentunya. Yang nggak suka dugem apalagi pulang ke rumah larut malam. Yang dengan senang hati mau mencintaiku dan nggak membiarkan aku menunggu malam-malam, khawatir, dan bingung seperti orang gila karena nomor handphone-nya nggak bisa dihubungi." Tatapan Argan masih menyapu pada raut wajah Nara yang terlihat pasi seketika. Gadis itu memasang tampang bengong dan melongo.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang