Part 3

285K 18.8K 1.6K
                                    

Suara bel terdengar nyaring. Uwa Parti yang sedang menyapu ruangan bergegas menuju pintu. Argan menduga guru Sakha yang datang karena jarum jam menunjuk pukul sepuluh lebih lima menit. Guru Sakha sudah memberi tahu sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah sekitar jam sepuluh pagi.

"Pak, gurunipun Sakha rawuh." Uwa Parti menganggukan kepala. (Pak, gurunya Sakha datang).

"Oh nggih, maturnuwun," balas Argan. (Oh, iya terima kasih).

Argan melirik Nara yang tengah membaca novel. Sakha tengah membaca buku cerita bergambar di ruang yang sama.

"Na, kita temui gurunya Sakha ya." Argan menatap Nara yang masih asik membaca.

Nara menolehnya. "Iya, Pak."

Argan meminta Sakha untuk menghentikan aktivitasnya dan menemui gurunya. Mereka bertiga melangkah menuju ruang depan untuk menemui wali kelas Sakha.

Argan menyambut ramah kedatangan sang guru. Ia menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengulas senyum. Nara menjabat guru berjilbab itu. Begitu juga Sakha. Ia menjabat tangan gurunya dan menciumnya.

Sakha kembali ke dalam untuk meneruskan aktivitas membacanya. Argan mempersilakan guru itu untuk duduk.

Ini pertama kali bagi Riana, gadis berusia 24 tahun itu mengunjungi rumah murid terpintarnya. Sebenarnya sudah sejak lama, gadis yang sudah mengajar sejak empat tahun yang lalu itu ingin home visit ke rumah Sakha, hanya saja status duda Argan menjadi penghalang. Ia tak enak hati berkunjung ke rumah seorang duda. Ia menghindari omongan negatif yang mungkin datang. Setelah Argan menikah, barulah ia berani untuk datang karena sudah ada istri Argan yang akan turut menemuinya.

Ia cukup tersentak mengetahui istri dari Argan tenyata masih sangat muda dengan gaya kasualnya. Nara mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Ia bersikap sesantai mungkin.

"Maaf sebelumnya Pak, Bu, kalau kedatangan saya mengganggu waktu Bapak dan Ibu. Kedatangan saya ke sini ingin sharing seputar perkembangan Sakha di sekolah." Riana mengulas senyum ramah.

"Sama sekali tidak mengganggu, Bu. Kami malah berterima kasih atas waktu yang Ibu sempatkan untuk datang ke tempat kami," balas Argan dengan segaris senyum.

Perbincangan mereka terjeda sesaat ketika Uwa Parti keluar membawa sebuah nampan. Ia menyajikan teh hangat dan sejumlah cemilan di meja.

"Silakan dimakan dan diminum, Bu."

"Terima kasih, Pak. Saya jadi merepotkan. Begini Pak, saya ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang Sakha. Sakha ini istimewa, Pak. Dia murid terpintar di kelas, bahkan secara paralel dia juga yang paling unggul. Dia bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik, fokusnya bagus, dan anaknya kritis. Jadi dia suka bertanya dan menjawab paling cepat setiap kali saya mengajukan pertanyaan. Kemampuan berbahasa dia sangat mengagumkan. Dia bisa berbahasa Krama Inggil dengan baik. Selain itu, bahasa Inggrisnya juga sangat bagus. Bahasa Arabnya juga bagus. Dia lancar berkomunikasi dengan bahasa Krama Inggil dan Inggris, di mana rata-rata anak kelas tiga belum banyak yang menguasainya, terutama bahasa Krama Inggil."

Argan dan Nara mendengar penuturan guru lajang itu dengan seksama.

"Hanya satu yang rasanya sangat disayangkan. Dia tak mau bermain dengan teman-temannya. Jadi di luar kegiatan belajar-mengajar, dia begitu pendiam, menarik diri dari pergaulan. Bahkan kalau ada teman yang mengusiknya, dia begitu temperamen. Dia bisa meledak sewaktu-waktu, pernah dia berteriak tanpa tahu penyebabnya, di sisi lain bisa begitu rapuh, kadang menangis sesenggukan. Di jam istirahat, dia lebih sering sendiri dan murung di kelas. Jadi, saya ingin tahu latar belakang apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu."

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang