Part 8

289K 18.6K 1.4K
                                    

Nara berselancar di dunia maya untuk mencari resep. Ia bingung hendak memasak apa untuk makan malam. Ia ingin memasak sesuatu yang spesial. Argan termasuk tipikal orang yang nggak rewel masalah makanan. Nara membuka kulkas. Ada daging ayam di freezer. Terpikir olehnya untuk memasak ayam penyet. Selama ini ia memperhatikan Argan setiap kali makan dengan sambal, dia kerap menambah porsinya. Mulailah Nara mengetik resep ayam penyet di kolom pencarian.

Nara membaca bumbu-bumbu yang diperlukan sementara matanya awas menelisik ke beberapa toples tempat menyimpan bumbu dapur. Bibirnya bergumam. "Bumbu untuk mengungkap ayam ada daun salam, serai, kunyit, lengkuas, bawang putih, air jeruk nipis, garam, air, kemiri." Nara mencari toples yang menyimpan kemiri. Ia akui, Argan adalah tipikal yang begitu detail mengurus segala sesuatu, termasuk menyediakan aneka bumbu dapur yang lengkap. Kepergian ibu Sakha tiga tahun yang lalu mau tak mau menuntut Argan untuk cekatan bekerja di dapur. Untunglah Nara tidak buta sama sekali dengan bumbu dapur karena waktu tinggal di kost, ia terbiasa mengamati Putri memasak. Putri adalah teman satu kost Nara saat masih tinggal di kost. Putri ini hobi memasak dan kerap mempraktikan resep baru di dapur kost. Paling tidak ia bisa membedakan mana ketumbar, mana merica, mana yang namanya kunyit, mana yang namanya jahe.

Nara memulai memasak sesuai intruksi. Pertama ia mengungkep ayam dengan bumbu yang sudah dihaluskan sebelumnya. Selanjutnya ia membaca kembali resep untuk membuat sambalnya, ada cabai rawit, cabai merah keriting, bawang merah, bawang putih, terasi bakar, kemangi, tomat, garam, gula jawa, daun jeruk purut. Ia haluskan bumbu itu kecuali kemangi. Nara teringat di halaman belakang berjejer tanaman kemangi. Dia memetik beberapa helai daun kemangi untuk menambah aroma dan cita rasa sambal.

Nara melirik jarum jam. Sakha tengah privat mengaji dengan salah satu ustaz yang sudah saling mengenal dengan Argan sejak lama. Sakha diantar Nara ke rumah ustaz tersebut. Selanjutnya Nara pulang ke rumah dan akan menjemput Sakha jika jam les privatnya telah usai. Sakha tak mau mengaji di TPQ dekat rumah karena ia takut menghadapi serangkaian bullying verbal yang dulu kerap dilontarkan teman-teman sepermainan atau teman mengaji terkait kematian ibunya. Meskipun Sakha ikut privat mengaji, tapi Argan selalu menyempatkan waktu untuk mengecek hafalan Al-Qur'an Sakha dan juga bacaan Al-Qur'annya.

Ayam sudah selesai diungkep. Selanjutnya Nara menggoreng ayam tersebut di satu sisi kompor. Sisi lainnya ia gunakan untuk menggoreng sambal. Dering smartphone mengagetkan dan membuyarkan konsentrasinya. Nara menghampiri meja makan dan mengambil ponselnya. Nama Firda terpampang di layar. Nara bertanya-tanya, ada gerangan apa Firda menelepon.

"Halo Fir, tumben telepon."

Terdengar suara sesenggukan dari ujung telepon. Nara tersentak. Ia mengkhawatirkan keadaan Firda. Ia tak tahu gerangan apa yang tiba-tiba membuat Firda menangis tersedu-sedu.

"Kamu kenapa, Fir?" Nara cemas dan ingin segera tahu apa yang telah terjadi.

"Na, aku butuh banget ngomong sama kamu. Ada Tasya di sini. Tapi dia nyalahin aku terus."

Nara mengernyit. Bagaimana bisa Tasya menyalahkannya? Memangnya apa yang sudah Firda lakukan.

"Jelas aku nyalahin dia, Na. Ya ampun, dia itu bego banget sumpah!" suara Tasya terdengar tegas dengan nada kesal.

"Jangan ngomong kasar, Tas. Masa teman sendiri dibego-begoin." Nara mengingatkan Tasya untuk lebih menjaga lisannya.

"Kamu tanya sendiri aja sama orangnya, Na." Tasya bicara dengan ketusnya.

"Na ... hidupku hancur, Na." Telepon kembali diambil alih Firda. Isak tangisnya terdengar semakin mencekat.

"Hancur gimana, Fir?" Nara semakin khawatir.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang