Aku bermalam di rumah Ibu Rose. Ia sangat memperhatikanku seakan-akan aku adalah anaknya. Walaupun aku tahu setelah ia bercerita, anaknya telah meninggal karena sakit yang dideritanya. Dan aku mengingatkannya kembali kepada anaknya. Aku kembali merasakan kehangatan dari seorang Ibu setelah sekian lama.
Esok paginya aku terbangun dan melihat sisi kasur yang ditiduri Ibu Rose sudah kosong.
Aku beranjak dari tempat tidur untuk mencari keberadaan Ibu Rose setelah merapikan rambutku yang cukup berantakan.
Aku berjalan mengarah ke pintu depan dan membukanya. Pemandangan di depan rumah Ibu Rose sangatlah indah. Ternyata rumahnya berada di kaki gunung, sehingga udara di sini sangat alami.
Burung-burung bercicit ria menemani matahari yang mulai menampakkan wujudnya. Aku menghirup udara banyak-banyak, dan tertangkap bebauan bunga yang sangat harum oleh indera penciuman ku.
Ah, aku suka tempat ini.
Sedang memandang sinar matahari yang sangat terang, aku mendengar suara yang cukup gaduh dari arah belakang. Rumah ini tidak besar, jadi wajar jika terdengar suara dari arah belakang. Aku masuk kembali dan berjalan ke arah belakang. Sepertinya itu dapur.
Ternyata Ibu Rose sedang memasak, dan sekarang sedang mencoba menghidupkan tungku dengan menggunakan ranting-ranting pohon kering.
Aku pun menghampirinya. "Ah, kau sudah bangun rupanya?" sapa Ibu Rose kepadaku.
Aku menyengir, "Iya Bu, sangat nyenyak sekali tidur di rumah Ibu—oh, sini Bu biar aku bantu." Aku mengambil alih ranting yang dipegang Ibu Rose, dan menyusunnya di atas tanah yang sudah ada batu untuk menyangga.
Apakah di sini ini masih menghidupkan api dengan batu? Ah, mungkin iya. Aku pun mencoba menggesekkan dua batu agar keluar api.
Sedari tadi aku coba tidak juga mengeluarkan api. Bagaimana ini, membuat aku lelah saja. Aku lihat ke depan ternyata sedari tadi ada Pasia yang mengamatiku sambil tertawa.
Setelah Pasia puas tertawa, ia berucap, "Memangnya kau mau apakan batu itu? Mengeluarkan api? Haha, bodoh!"
Mukaku merah padam, karena berlagak sok mengerti cara menghidupkan api. "Memangnya bagaimana lagi?! Cepat beri tahu aku! Jangan cuma tertawa saja!"
Pasia memutar matanya sehingga tampak lebih lucu dan menggemaskan. "Kau lihat ranting berwarna coklat itu? Yang kau taruh di antara ranting lain?"
Aku melihatnya dan mengambilnya. "Ini?" tanyaku sambil menunjukkan ranting itu di depan matanya.
Pasia mengangguk. "Ketukkan ranting itu ke ranting lainnya."
Aku pun mengikuti arahan Pasia, dan mengetukkan ranting itu ke ranting lain yang telah disiapkan.
Boom!
Api langsung berkobar besar di atas ranting-ranting itu. Sontak aku terkaget dan memundurkan kaki beberapa langkah, untungnya aku tidak ikut tersambar oleh api itu.
"Bodoh! Jangan terlalu keras kau mengetuk ranting itu. Jika kau mengetuk pelan maka hanya api kecil yang keluar, jika kau mengetuk sedang maka api yang tidak terlalu besar keluar. Jika kau mengetuk teramat keras seperti tadi, maka api sebesar itu yang akan keluar!" jelas Pasia kepadaku dengan muka kesal.
Aku memanyunkan bibirku. "Ya mana aku tahu! Ini kan pertama kali aku menggunakannya. Seharusnya kau beritahu dari tadi!"
Ibu Rose menghampiriku dengan wajah terkejut melihat kobaran api seperti itu. Ia pun dengan terburu-buru mengambil seember air dan menyiramkannya ke kobaran api tadi. Tada! Api sudah tidak terlalu besar.
Tapi aku bingung, bagaimana bisa hanya dengan ranting pohon yang diketukkan itu keluar api? Jangan-jangan di dunia ini masih menggunakan sihir!?
Gonggongan Pasia, membangunkan ku dari pikiranku sendiri, lalu kami pun mulai memasak dengan diiringi obrolan ringan.
• • •
A/N:
Pasia jangan kasar-kasar dong ngomongnya! Heheh.
Part 03 is published!
Jangan lupa tekan 🌟!
Jangan lupa komen!
dan
Jangan lupa move-on!Terima kasih yang sudah membaca part 03, hope you like it!
regards,
.Mosya Caramello.
13/April/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Dzaldzara
FantasyPernah menginjak rank #1 Fantasy, #1 Kerajaan on 2021 dan rank #1 Romantis on 2022. Disarankan follow sebelum baca, biar nyaman bacanya. ••• Tanganku...