Saat kamu menyuruhku memilih diam di tempat atau mundur perlahan, saat itu pula aku yakin dengan pilihanku.
Maaf, aku memilih maju.***
Saat diberikan pilihan, ada yang dengan cepat menentukan pilihannya. Ada pula yang ragu-ragu saat memilih. Ada pula yang takut hingga enggan memilih.
Cepat maupun lambatnya kita memilih, selalu ada konsekuensi yang siap menyambut setelah kita memilih. Tak bisa kita hindari.
Namun nyatanya ada hal yang bisa dilakukan untuk mengetahui konsekuensi sebelum kita memilih.
Pertanyaannya adalah bagaimana?
Jawabannya adalah berpikir secara kontradiksi.
Pertanyaan pun muncul lagi. Bagaimana cara kita berpikir kontradiksi? Mari kuberitahu rahasiaku.
Cukuplah menjadi pelamun.
- Fetch -
Seolah terik matahari siang tak menyakiti mata, Qian pun tak henti-hentinya menatap langit lewat jendela kelasnya. Nyaris tak berkedip, jika dihiperbolakan.
Seisi kelas itu tak ada yang berani mengusik Qian. Ya, tak ada yang berani karena tak ada pula yang tahu apa yang membuat Qian menjadi pelamun seperti sekarang ini.
"Meir, tuh si Qian napa dah?" Tanya Tio yang sudah duduk di samping Meirlin sambil menatap Qian heran.
Belum juga Meirlin menjawab, Tio sudah bersuara lagi. "Gak mungkin, kan?" Ucapnya sambil memasang ekspresi aneh.
Tanpa diduga dan tanpa dapat diantisipasi Tio, sebuah pukulan mendarat di kepalanya. "Gak usah mikir aneh-aneh deh. Paling tuh anak lagi masalah di rumah aja. Ngomong macem-macem, gue toyor lagi nih kepala lo !" Ancam Meirlin.
Beruntung, hari itu hanya satu mata kuliah di kelas Qian, dan dosen itu pun berhalangan hadir. Alhasil, jadilah kelas seperti sekarang ini. Keributan di sana sini. Walau demikian, Qian tetap tak terganggu. Ia benar-benar menjadi pelamun seharian.
"Itu si Dheo-Dheo nya Qian juga tumben gak nongol seharian sih. Biasanya kayak jelangkung. Sekarang malah gak muncul. Padahal kan ..." ucapan Tio terpotong saat menyadari sesuatu. Tio menatap Meirlin dengan tatapan mencurigai.
Meirlin balas menatapnya bingung, "Padahal kan apa?" tanya Meirlin.
Suara ketukan pintu mengalihkan semua pandangan orang-orang di dalam kelas lukis itu. Ya, terkecuali wanita yang duduk di sudut kiri kelas. Bahkan keheningan bisa tercipta di kelas tersebut, yang notabene-nya tak bisa didiamkan.
"Patra?"
Laki-laki yang baru datang itu pun tersenyum ke segala penjuru kelas. Sudah lama pula Patra yang menyapa anak-anak kelas lukis yang pernah bekerja sama dengannya itu.
Saat mendapati sosok yang dicarinya, Patra segera beranjak masuk dan mendekati Qian. Tio dan Meirlin yang tak jauh dari meja Qian hanya melongo dibuatnya. Tio bahkan sempat menyenggol sikut Meirlin, meminta penjelasan. Namun Meirlin hanya menggeleng tak mengerti.
Kelas kembali ribut, tak memusingkan sosok yang baru masuk itu. Semua kembali ke aktifitasnya. Patra pun tak mempermasalahkan keributan yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
FETCH [Completed]
RomanceMenghilang adalah keahlianmu. Keahlianmu tentu bukan keahlianku. Aku tak ahli menghilang. Aku juga tak ahli mencarimu. Alih-alih mencari, melihatmu saja sudah hampir di ujung garis nihil. Kamu adalah sosok yang terlalu misterius namun tak juga musta...