Memang lebih baik kamu berhenti tuk berteduh dibandingkan kehujanan saat berjalan ke arahku.
***
Usai meliburkan diri sendiri seharian kemarin, hari ini Qian kembali melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Ia melangkahkan kakinya di koridor kampus dengan derap was-was.
Jelas ia tidak ingin berpapasan - alias menghindari laki-laki yang dengan luar biasanya bisa mengganggu kinerja otak dan jantung Qian dua hari yang lalu.
Saking was-wasnya, Qian nyaris menabrak tembok tiang di depannya. Syukurnya, teriakan Meirlin yang menggelegar memanggil namanya itu berhasil menolongnya melewati musibah yang baru saja hendak menjemputnya.
Sebuah pukulan pun mendarat di kepala Qian. “Jalan tuh liat ke depan, bukan celingak-celinguk gak jelas kayak tadi, Qian,” peringat Meirlin yang dibalas cengiran khas Qian. Cengiran idiot dan tampang bodoh. Jahat banget dah.
Meirlin lalu mencubit kedua pipi Qian gemas. "Duh, kangen banget sama dia. Pake acara sakit segala kemarin." Meirlin sudah merubah ekspresi wajahnya kembali normal saat mengatakan itu.
“Yuk ke kelas,” ajak Meirlin yang sifatnya cenderung ke arah pemaksaan.
Apa-apaan coba adegan tarik-menarik yang dilakukan Meirlin saat ini. Semua mata jadi menatap ke arah mereka. Tak terkecuali orang yang sangat dihindari Qian, yang tengah berjalan berlawanan arah dengan mereka. Ya, berjalan ke arah mereka, bung.
Senyuman dari seberang sana membuat Qian meneguk ludahnya kasar. Ah, dan jangan lupakan Meirlin yang tiba-tiba berteriak nyaring hanya untuk menyapa orang yang jaraknya belum mencapai radius satu meter darinya.
"Woi Dheo!"
Qian kehilangan akal untuk menghindari perbincangan super absurd yang akan ia hadapi. Akhirnya ia memilih melepas paksa eratan tangan Meirlin. Begitu terlepas, dengan langkah seribu Qian berlari meninggalkan Meirlin yang sudah melongo dibuatnya.
Dheo menggeleng dan terkekeh melihat kelakuan Qian yang super canggung itu. Padahal belum juga berpapasan. Bagaimana jadinya kalau berhadapan? Bisa-bisa pingsan di tempat tuh anak kayaknya.
Ya memang benar. Sejak hari dimana Dheo "menyerang" Qian, keduanya jadi super duper canggung. Lebih-lebih Qian yang akhirnya terlihat seperti bergerak menghindari Dheo. Ah, Dheo semakin gemas dibuatnya.
Begitu Dheo benar-benar sampai di depannya, Meirlin pun angkat bicara. “Qian kenapa sih, De? Lagi marahan ya kalian?”
Dheo menatap Meirlin dengan senyuman tipisnya lalu menggeleng. “Dia kaget aja.”
Meirlin mengerutkan keningnya pertanda tidak mengerti. Dheo pun tertawa singkat lalu mengacak rambutnya pelan. “Jangan kepo. Nanti sakit!”
Sakit? Sakit apaan? Batuk, pilek, demam, atau meriang nih? Merindukan kasih sayang. Eeaaa. Dheo sukanya ngode doang.
Meirlin berdehem meminta perhatian Dheo serius. “Ada yang mau gue omongin, De.”
Dheo menoleh dan menatap Meirlin - tetap dengan tampang tidak seriusnya. “What is that?”
Meirlin menggigit bibir bawahnya dan memandang sekelilingnya yang sangat ramai. Tiba-tiba nyalinya ciut melihat ramainya koridor saat itu.
Dheo yang memerhatikan tingkah Meirlin pun akhirnya bersuara. “Nanti aja ya ngomongnya. Kayaknya privasi banget,” tawar Dheo ragu-ragu.
“Iya. Nanti aja, De. Gue ke kelas dulu.”
Dheo pun mengangguk lantas membiarkan Meirlin melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sedang dia? Ah, tampaknya mengerjai Qian akan sangat seru hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
FETCH [Completed]
RomanceMenghilang adalah keahlianmu. Keahlianmu tentu bukan keahlianku. Aku tak ahli menghilang. Aku juga tak ahli mencarimu. Alih-alih mencari, melihatmu saja sudah hampir di ujung garis nihil. Kamu adalah sosok yang terlalu misterius namun tak juga musta...