33. Ditampar Kebenaran

1K 61 10
                                    

Benar kata orang, seberapapun kita menyembunyikan sesuatu, pada akhirnya pasti akan terungkap juga. Meski kadang harus terlambat.

***

Hari sudah berganti. Namun sepertinya terbit dan tenggelamnya matahari tidak mengganggu sama sekali Qiandra dan alat-alat lukisnya. Seolah menyatu dengan lukisannya, perempuan itu sama sekali tidak terusik saat pintu galerinya berderat terbuka.

Namun suara tapak kaki yang makin lama makin dekat akhirnya membuat Qian memicingkan matanya dan mengalihkan tatapannya pada seseorang yang sudah duduk di sofa samping.

"Papa?"

"Selamat pagi, Nona."

Qian mengerjap dan mengembalikan paksa seluruh nyawanya yang tadi ia tuang penuh pada lukisan yang sudah hampir selesai. Segera Qian mengambil tisu basah yang selalu tersedia di sana untuk membersihkan tangannya.

"Ada apa kok tumben papa sampai ke sini?" Tanya Qian sambil menyeret kursinya mendekat ke arah sofa dan duduk menghadap sang ayah.

Robi mengedarkan pandangannya ke sekeliling galeri minimalis milik anaknya itu. "Papa mau lihat kemajuan persiapan kamu untuk membuka kembali galeri ini. Udah dua hari juga kamu nggak pulang rumah soalnya, Qian," ujarnya lembut.

"Sepertinya Qian belum bisa buka galeri ini lagi untuk bulan depan, Pa. Konsepnya masih keteteran banget," jujur Qian sambi menghela napas berat.

Robi mengangguk sambil menatap Qian. Sorot matanya saat itu benar-benar menyejukkan hati Qian yang sedang acak-acakkan. "Ya, siapapun pasti bisa mengerti. Selalu akan ada kendala-kendala saat kita hendak membuka kembali sesuatu."

Qian terenyuh. Kalimat Robi tadi memang dimaksudkan untuk pembukaan galerinya. Tapi entah kenapa, rasanya perasaan Qian tersindir benar.

"Pa," panggil Qian yang mendapat anggukkan kepala sebagai jawaban.

"Kenapa kendala-kendala itu bisa ada?"

Robi mendorong kacamatanya yang sedikit merosot kemudian menatap mata Qian dalam-dalam. Jelas ia menemukan luka di sana. Siapa pun pasti bisa melihat siratan luka yang amat jelas di mata anak perempuan itu.

Senyum tipis terukir dari bibir Robi. Lantas ia menepuk bahu Qian dua kali. "Ada kendala yang datang tanpa diundang. Tetapi ada juga kendala yang justru kitalah penyebabnya. Karenanya, kamu harus bisa menyelesaikan kendala-kendala yang ada."

Tak ada tanggapan lagi dari Qian membuat Robi beranjak berdiri dan pamit.

Sementara Qian kembali merenungkan segala sesuatu yang telah menyerang kehidupan dan perasaannya.

- Fetch -

Qian berada di seberang jalan dari club malam yang menjadi saksi bisu malam terburuk Qian beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan matanya, mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya untuk kembali masuk ke gedung tersebut.

Setelah itu Qian melangkahkan kakinya pasti. Suasana dan keadaan dalam club itu tidak berubah. Masih sama seperti saat pertama kali Qian menginjakkan kakinya di sana.

Bau alkohol adalah hal pertama yang harus Qian hadapi. Belum lagi ditambah dentuman musik full bass dan kerlap-kerlip lampu disko. Ah, seandainya orang yang ingin ia temui itu bekerja di tempat lain, maka Qian tak perlu bersusah payah memaksa masuk ke tempat ini.

Masih ingat jelas posisi bar membuat Qian tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mencari-cari. Laki-laki itu ada di sana. Qian menghela napas legah.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang