10. Matahari

1.4K 107 22
                                    

Saat bumi memiliki dan membutuhkan matahari. Aku pun sama. Sayang, matahari selalu jauh. Ya, begitu pun matahariku.

***

Matahari. Bintang yang terbesar jika dipandang dari bumi atau pun planet lainnya di angkasa. Namun, sesungguhnya matahari bukanlah bintang terbesar di angkasa.

Matahari. Ia menerangi, namun terlalu panas. Sangat.

Matahari. Mendekat salah. Menjauh, akan lebih salah lagi.

Matahari. Kamu menyinari semata-mata untuk kebaikanku. Tetapi, haruskah kamu sepanas itu? Apakah harus kamu membuatku menjaga jarak selamanya?

Sungguh. Aku ingin mendekat, bahkan menggapaimu. Tetapi, kamu akan membakarku habis-habisan, bukan? Ya. Kamu akan menyakiti aku. Kamu tak mau melakukannya. Kamu tak ingin aku lenyap dari sebatas pandangmu, hingga kamu sejauh itu dariku.

Perlu kamu tahu, aku berusaha mati-matian menghindarimu. Aku berlindung di dalam bangunan, agar sinarmu tak terlihat. Aku menutupi diriku di balik selimut, agar sinarmu tak menembusku.

Kamu terus memaksaku untuk melihatmu, walau hanya sebatas berkas-berkas cahayamu yang menyelinap. Tidak bisakah kau enyah saja? Aku sungguh muak. Ya, muak pada diriku sendiri yang tak ingin melihatmu, di saat aku bahkan tak mampu hidup tanpamu.

Singkatnya, aku membencimu sebesar aku membutuhkanmu.

Ya, jahat karena aku begitu membutuhkanmu. Membutuhkanmu agar aku hidup. Aku perlu hidup, agar aku dapat terus mencintaimu. Mencinta walau jarak terbentang di antara kita. Mencinta dari titik yang sudah Tuhan tetapkan sejak awal.

- Fetch -

Pernahkah kalian melihat di film-film, sekumpulan orang yang setelah pesta, kekenyangan hingga terbaring tak berdaya di lantai?

Ya, pemandangan itulah yang sedang ada di dalam gedung aula seni, tempat pameran lukis diselenggarakan.

Qiandra hanya bisa menggelengkan kepalanya heran, karena kerakusan teman-temannya yang berhasil menghabiskan beragam makanan berat maupun ringan. Semuanya berbaring memosisikan badannya senyaman mungkin di lantai. Katanya sih, tidak kuat menahan beban yang sedang bermetabolisis di perut mereka. Ah, dan jangan lupakan keberadaan dua manusia yang bukan bagian dari kelas seni lukis, namun berperan penting dalam penyelenggaraan pameran ini.

Jangan bertanya lagi. Kalian sudah tahu siapa mereka.

"Woi, bangun woi. Udah malem ini. Pulang ayo," ucap Qian sambil menggoyang-goyangkan tubuh semua orang yang tengah berbaring.

Dengan enggan, akhirnya mereka mulai bangun dan membersihkan ruangan tersebut. Seusai mengembalikan keadaan ruangan itu seperti semula, mereka satu per satu berpamitan, dan berangsur pulang.

"Lo pulang bareng gue," ucap Dheo pada Qiandra.

"Qian bawa motor kan, ya?" Tanya Meirlin.

Qiandra yang tampak kebingungan itu pun akhirnya menganggukkan kepala pertanda jawaban 'ya'.

Dheo lalu melirik Meirlin yang sedang menatapnya dengan tatapan memohon. Ia menghela napas berat. "Lo balik sama siapa?" Tanya Dheo entah pada siapa.

Kini ganti Meirlin yang kebingungan. Efek terlalu menatap Dheo, ia pun tidak sadar kalau dirinya yang ditanyai oleh Dheo. "Eh, gue ya?" Tanya Meirlin memastikan, sambil menunjuk dirinya sendiri.

Dheo tampak tertawa kecil. Namun, hal itu benar-benar membuat Meirlin ikut tersenyum.

"Jadi?" Patra akhirnya bersuara.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang