Epilog

4.4K 142 14
                                    

Terkadang, sebuah tatapan dan sebuah senyuman mampu mengatakan lebih dari ribuan bahasa yang ada.

Itulah cinta yang sesungguhnya. Kamu tidak hanya mendengarnya. Kamu tidak hanya melihatnya. Kamu merasakannya.

***

"Satu. Dua. Tiga."

Cekrek.

Jepretan foto tersebut menjadi foto terakhir yang diabadikan Qiandra di pegelaran pameran lukisnya di Kuala Lumpur. Sengaja ia memilih untuk mengabadikan sebuah foto dimana dia menjadi satu-satunya objek di antara lukisan-lukisan miliknya yang dipajang rapi berbaris ke samping dan ke bawah.

"Wah, cantik banget elo, Q. Tumben-tumbenan. Biasanya foto sekali nggak langsung cakep," ujar manajer Qian yang mulutnya kadang kurang disekolahin.

Qian hanya menyengir tanpa membalas perkataan manajernya itu. Lalu ia mengambil alih kamera yang tadi digunakan untuk memotret dirinya dan mengecek hasil tangan sang manajer.

Ia tersenyum puas kemudian mengembalikan kamera tersebut sambil menepuk pundak sang manajer dua kali, lantas berlalu tanpa kata.

Rani, manajer Qian yang sudah bertahan selama hampir dua tahun itu adalah manajer terlama bagi Qian. Dibandingkan manajer-manajer "korban" seorang Qiandra Putri sebelumnya, ia mampu menerima semua sifat dan kepribadian Qian. Ia pun turut menyaksikan dan merasakan perubahan sifat Qian akhir-akhir ini yang semakin dingin, seolah ingin membekukan siapa saja yang berada di sekitarnya.

Tentu bukan tanpa alasan Rani mampu memahami dan menyesuaikan diri dengan kepribadian Qian. Ya, Rani sendiri adalah teman sekelas Qian saat SMA. Jadi, tidak sulit untuk bekerja bersama Qian.

Qian menjadi sosok yang dingin sejak tanpa sengaja Rani menemukan sebuah amplop biru yang terjatuh di kamar tempat penginapan Qian sebulan yang lalu di Bangkok.

Bahkan Rani yang notabene-nya sudah sangat cerewet dan bawelnya minta ampun nggak ketulungan itu sampai menjadi lebih cerewet dan sengaja berbuat hal yang tidak disukai Qian. Hal itu ia lakukan hanya untuk sekedar membuat Qian membuka suara dan memarahinya.

Namun kenyataan berkata lain. Qian selalu diam dan tersenyum terhadap segala sesuatu yang dilakukan Rani.

Mengerikan bukan? Sangat!

Lebih baik Qian ketus, dan blak-blakkan daripada diam dan terus tersenyum.

Ah, mari kembali. Pegelaran pameran di Kuala Lumpur berlangsung lancar dan sukses. Ini menjadi langkah awal bagi Qian menarik perhatian para pecinta seni di kota itu, sebelum ia benar-benar membuka galeri lukisnya di sana.

Setelah penutupan pameran ini, Qian langsung dijadwalkan untuk kembali ke Indonesia untuk menghadiri pameran rekan pelukis yang lain. Oleh karena itu Qian tidak lagi kembali ke hotel, melainkan langsung menuju bandara.

Mengisi kekosongan di perjalanan menuju bandara yang cukup memakan waktu, Qian mengambil handphonenya dan sedikit mengedit foto terakhir tadi yang sudah dikirim sebelumnya.

Tidak menambah editan yang berlebihan. Qian tersenyum simpul lantas mem-publish foto tersebut. Lagi-lagi tanpa caption, sama seperti unggahan-unggahan sebelumnya.

Ia lalu menyimpan kembali handphonenya itu dan bersiap turun dari mobil, karena memang mereka sudah sampai di loket masuk parkir.

Mobil berjalan pelan hingga tiba tepat di depan Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Qian pun melakukan hal-hal yang wajib ia lakukan di bandara seperti check-in dan lain sebagainya.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang