Karena kamu tidak akan pernah tahu kapan hujan akan berhenti, lebih baik sejak awal kamu tidak usah mencari perteduhan. Percuma kamu berteduh dan menunggu lama, jika pada akhirnya kamu tetap basah dan kehujanan.
***
Suara derai air hujan seorang dirilah yang saat ini terdengar di pendengaran seorang laki-laki yang tengah menatap nanar sebuah foto di tangannya. Bulir-bulir air matanya juga turun membasahi pipinya tak kalah cepat dibandingkan derasnya hujan di luar sana.
“Mama,” gumamnya pelan lalu memeluk foto tersebut tepat di dadanya.
Sesak meruak ke permukaan. Ia menahan semuanya itu dan tak bersuara sama sekali. Bahunya terguncang hebat, namun isak tangisnya sungguh tidak terdengar.
Kenangan-kenangan menyakitkan sebelumnya itu turut menyeruak bersama sesak di dadanya. Bukan penyesalan yang ada di sana. Namun, sirat kebahagiaan itu tak mungkin menang dibandingkan goresan pahit akibat kehilangan.
Suara derat pintu terbuka pun tak menggugah niatnya untuk sekedar berbalik. Langkah kaki itu kian mendekat dan akhirnya sebuah tepukan mendarat di bahunya.
“Makan dulu, Patra.” Ucapan bernada sangat halus itu pun tak berhasil menghentikan isak tangisnya.
Namun, sesaat kemudian Patra berbalik menatap sosok yang memanggilnya tadi. Seulas senyum ia paksakan disana. Sangat tampak dipaksa hingga terasa bahwa senyum itu adalah sebuah pengusiran. Jelas sosok itu akhirnya menyerah dan meninggalkan Patra kembali seorang diri.
Patra menggeletakkan foto yang digenggamnya tadi dan beranjak ke kamar mandi untuk membilas tubuhnya yang sudah sangat lengket itu. Ia membuka pakaian serba hitamnya yang tidak ia ganti sejak tadi pagi dan membiarkan air dingin tumpah atas dirinya. Ia bahkan tidak memedulikan hari yang sudah terlaru larut dan dinginnya suhu di kota itu.
Seusai menyelesaikan ritual mandinya, Patra melangkah menuju meja kecil di samping tempat tidurnya dan mengambil handphone dari salah satu lacinya. Baru saja ia menghidupkan handphone yang entah sudah berapa lama ia non-aktifkan, puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan chat memenuhi kolom pemberitahuan handphonenya.
Ia mengeluhkan napas berat dan perlahan melihat satu per satu pesan yang masuk, dan mengabaikan puluhan panggilan tak terjawab yang sudah ia tahu siapa pelakunya.
Hingga sebuah pesan berhasil merenggut seluruh udara di sekitarnya. Napasnya tercekat, kemudian memburu.
Ed : Qiandra ke sini, bro!
Patra mengusap wajahnya kasar lalu melakukan panggilan pada sang pengirim pesan.
“Patra! Kemana aja lo? Lo ta…”
“Qian!” Potong Patra.
Sebuah helaan napas terdengar di sambungan telepon Edward. “Qian gimana?” lanjut Patra.
Edward yakin bahwa Patra sedang menahan emosi di sana. “Dia tadi hampir diena-ena sama bos gue.” Ed menjeda perkataannya sampai disana, mencoba mengetahui reaksi Patra yang sayangnya terlalu tenang. Hanya helaan napas yang ia dengar.
Edward pun melanjutkan kalimatnya. “Tapi gue segera hubungi Dheo,”
Ed menghela napas panjang dalam jedanya kemudian menutup kalimatnya.
“Sesuai permintaan lo, Pat.”
- Fetch -
Sementara Radheo masih terjaga sambil menatap gadis yang selalu menganggapnya sahabat itu tertidur dengan pulasnya. Merasa Qian sudah sangat pulas, ia akhirnya melepas ikatan dari jaket di kedua tangan Qian pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FETCH [Completed]
RomanceMenghilang adalah keahlianmu. Keahlianmu tentu bukan keahlianku. Aku tak ahli menghilang. Aku juga tak ahli mencarimu. Alih-alih mencari, melihatmu saja sudah hampir di ujung garis nihil. Kamu adalah sosok yang terlalu misterius namun tak juga musta...