27. Mencarimu

611 49 22
                                    

Aku mencarimu hingga harus menjalani segala sesuatu yang tidak pernah terbayang untuk kulakukan.

***

Qian mengawali harinya dengan kantung mata yang membengkak dan menghitam. Ia bahkan nyaris menjerit melihat wajahnya sendiri di cermin. Untungnya ia segera sadar bahwa yang sedang ditatapnya itu adalah bayangnya sendiri.

Setelah menangis semalaman, kemudian kaget dan nyaris menjerit usai menatap pantulan dirinya sendiri, kini Qian jadi tertawa sendiri. Sudah pantas benar dia bergaul dengan pasien-pasien di rumah sakit jiwa.

Bukan itu saja. Sekarang ia bahkan menatap nanar cermin yang tengah menampakkan bayang dirinya itu. Ia terus memikirkan bagaimana Dheo meninggalkannya kemarin. Setiap perkataan yang dilontarkan laki-laki itu pun masih terngiang jelas di pikiran Qian.

Qian mengepalkan telapak tangannya kuat. Tanpa perlu Dheo berkata sekasar itu, Qian pun sadar penuh dengan apa yang dilakukan Patra padanya. Entah kenapa tapi rasanya terlalu sakit bagi Qian saat Dheo meninggalkannya kemarin.

Ia membuang napas kasar kemudian dengan langkah gontai ia pergi ke kamar mandi. Sepertinya air dingin di pagi hari yang dingin ini sangat tepat untuk kepala dan hatinya yang memanas.

Qian menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya di dalam kamar mandi pagi ini. Jika biasanya ia hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja, kini menjadi tiga puluh menit. Entah apa saja yang sebenarnya dia lakukan di dalam sana.

Usai bersiap-siap, Qian membuka handphonenya yang sepertinya sudah tidak ada guna lagi dan lebih baik ia jual saja. Karena seperti yang diduga-duga, tidak ada yang menghubunginya. Bahkan sms dari operator kesayangan yang setia mengirim pesan paket promo juga tidak ada. Apalagi kabar dari doi dan sohib yang mendadak hilang dalam sekedip mata. Ngimpi.

Dimana sebenarnya tempat untuk jual kembali hp di muka bumi ini? Tolong beritahu Qian, karena ia hendak ke sana.

Qian keluar dari kamarnya dan menghampiri Tania dan Robi yang baru saja hendak memanggilnya untuk sarapan. Ia mengambil duduk di depan Tania dan setelah berdoa singkat - yang terlalu cepat malahan - ia langsung melahap roti bakarnya.

"Kamu berdoa bilang apa aja sama Tuhan, Qian?" sindir Tania dengan nada bercanda.

"Nge-rap dia doanya tadi itu Ma," timpal Robi yang membuat Qian cengengesan tidak jelas.

Seolah ucapan Tania dan Robi tadi memang tidak harus dibalas lagi, Qian sudah hendak beranjak dari duduknya usai menyelesaikan gigitan terakhirnya.

"Sudah mau ke kampus kamu?" Tanya Robi yang mencegah gerakan berdiri Qian.

Qian menggeleng singkat. "Qian mau singgah ke galeri dulu, Pa. Rencananya Qian mau buka lagi galeri itu bulan depan."

Robi menatap serius anaknya yang juga tengah menatapnya dengan senyum bertengger di wajahnya yang kecil itu. "Kalau butuh sesuatu bilang aja sama Papa."

"Siap komandan!" pekik Qian kegirangan.

- Fetch -

Rutinitas Qian seolah dipaksa berubah dalam waktu singkat. Seperti hari ini, ia keluar dari rumah di pagi hari menuju galerinya. Melukis sesuatu yang baru untuk bahan pameran galerinya saat dibuka nanti. Hingga waktu kuliah hampir tiba, ia pun pergi ke kampus.

Namun setibanya di kampus, bukannya menuju gedung kuliahnya sendiri, ia justru melangkah ke gedung Manajemen.

Hal yang sama juga yang ia lihat yakni tidak adanya Patra Seftian di dalam ruang kuliahnya. Sudah berapa hari Patra menghilang ya? Ah, sudah hari kelima ternyata. Bagus juga cara dia menghilang ini. Membuat Qian merasa bersalah di saat ia tidak merasa bersalah juga.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang