15. Ekspetasi

887 68 17
                                    

MEIRLIN SPESIAL PART

Ekspetasi tak lain dan tak bukan hanyalah khayalan belaka.

***

Semua orang yang masih hidup di dunia ini memiliki ekspetasi tersendiri terhadap hidupnya. Ekspetasi atau harapan itu bahkan selalu ada di segala aspek kehidupan. Ekspetasi setiap individu selalu berbeda pula. Hal sederhana yang selalu ada di pikiran setiap orang adalah harapannya untuk hidup hari ini. Untuk napas kehidupan pun tidak semua orang memiliki harapan yang sama tingginya.

Begitu pun kasus harapan untuk memiliki dirimu. Kamu tahu sendiri, aku begitu menginginkan dirimu. Kamu jelas mengetahuinya. Tapi tak ayal, kamu menghancurkan semua keinginanku dengan segannya.

Jujur saja, aku hancur. Ya, hancur harus melihatmu tak dimiliki orang lain, namun juga tak mau untuk kumiliki. Sebegitu burukkah diriku ini?

Sebenarnya, tak perlu kamu menghancurkan harapanku. Cukup pergi saja. Aku mungkin mampu menerimanya. Namun, kamu seolah menganggapku patung yang tak memiliki perasaan. Kamu memperlakukanku semanis itu. Sangkamu hatiku ini batu?

Jika tak ingin, cukup katakan. Jika tak ingin melihatku hancur, pergilah. Karena hadirmu mengubah ekspetasiku padamu.

Ya. Ekspetasiku berubah menjadi khayalan belaka karena dirimu.

-Fetch-

Semilir angin malam berhasil menggoyahkan kedudukan rambut wanita yang tengah duduk di tepi kolam. Pantulan bayangan dirinya sendiri tampak dengan jelas di air kolam itu. Sebagian kakinya ia tenggelamkan di dalam air dengan sengaja. Sungguh pun dingin yang mencekam itu pun tak membuatnya beranjak masuk dan menghangatkan tubuhnya.

Buku yang berada di genggamannya kini ditutupnya. Sepertinya ia baru saja menyelesaikan bacaannya. Kini pandangannya berganti pada indahnya langit malam.

"Bintang pun setia menemani sang bulan," ujarnya pada dirinya sendiri.

Cukup lama ia menatap langit, lalu ia mengangkat kakinya dan beranjak masuk ke dalam rumahnya. Buku tadi ia biarkan tergeletak begitu saja. Buku yang mirip seperti catatan harian bertuliskan nama sang pemilik, Meirlin Alvenita.

Mentari menjemput rembulan. Malam telah berganti pagi. Meirlin mengerjapkan matanya dengan gusar lantaran sinar matahari yang menelusup melalui celah tirai jendela kamarnya. Ia melirik jam yang terduduk dengan sempurna di nakas samping tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun matanya enggan terbuka dengan sempurna.

Insomnianya kembali datang tadi malam. Ia baru bisa menutup kedua matanya pada pukul tiga pagi tadi. Jika tidak mengingat bahwa ada kelas pagi ini, mungkin ia akan meneruskan lelapnya itu.

Meirlin membuka jendela kamarnya, membiarkan udara segar pagi hari memenuhi ruangan kamarnya itu. Dengan kilat ia merapikan tempat tidurnya. Setelah itu, ia mulai melakukan ritual mandinya. Tidak lama, hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit saja.

Meirlin langsung bersiap, dan tak pernah lupa membawa perlengkapan lukisnya. Terlebih khusus buku sketsanya yang tak pernah absen dari daftar barang bawaannya. Ia keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Di sana sudah ada sarapan yang tersedia untuk dirinya. Tentu saja yang disiapkan oleh ibunya, Reisa.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang