7. Jam dan Waktu

1.8K 151 12
                                    

Sekali lagi, mari kita berbicara tentang waktu yang bisa berbicara.

***

Waktu sangat penting bagi setiap orang. Ya, setiap orang yang dimaksud ialah yang tidak termasuk dalam golongan "pemalas" di dunia ini.

Tapi, pernahkah kalian setidaknya berpikir sekali saja, bahwa waktu yang ditunjukkan oleh jam yang berbeda juga turut berbeda.

Tak ada satu waktu pun yang pasti, yang dapat kita percayai bersama. Aku memercayai waktu yang terus bergerak di jam milikku. Begitu pun kalian, bukan?

Lantas, jika untuk sesuatu yang telah ada dan menjadi teman selama kita hidup di dunia ini pun tak dapat kita percayai, apakah perlu aku memercayai kamu?

Kamu yang bahkan untuk dikatakan sekedar singgah pun tak pantas. Aku seharusnya tidak memercayaimu. Tidak lagi, dan tidak pernah.

Diantara semua ketidakpastian waktu di dunia ini, ada tiga kepastian yang akan kupegang selamanya.

Waktuku dan waktunya tak pernah seirama.
Waktumu dan waktunya saling mengejar.
Waktuku dan waktumu tak pernah bertemu.

- Fetch -

Suara decitan sendok dan garpu saling bersahut-sahutan, seolah tak ada yang ingin kalah saing. Tak ada suara lain selain keributan tak berfaedah yang sedang diciptakan oleh sepasang suami istri di lingkaran meja makan itu.

"Qian berangkat, Pa, Ma." Ucap Qian yang baru saja keluar dari kamarnya, lengkap dengan seluruh peralatan lukis di tangannya.

Tidak banyak langkah tercipta hingga sebuah suara menghentikan langkah Qian.

"Mau ke mana kamu? Pulang malam, terus mau berangkat sepagi ini?"

Qian menolehkan kepalanya hingga matanya bertemu dengan ibunya. Baru saja Qian hendak bersuara, lagi dan lagi suara Tania menghentikan niatannya.

"Kurang ajar kamu makin menjadi-jadi ya," ucap Tania.

"Qian juga nggak pergi ke mana-mana, Ma. Qian ke luar rumah cuman ke kampus. Apa salah?" ucap Qian sengit.

"Kalian berdua ini kenapa harus ribut begini terus setiap hari sih?" Ujar Robi menengahi perdebatan keduanya.

Qian membuang mata kesal. Ia semakin jera dengan segala percakapan yang ada. Ia melangkah mendekat dan masih menjaga sopan santunnya dengan menyalimi kedua orang tuanya yang tengah duduk di meja penuh dengan tradisi, dulu.

Segera, Qian meninggalkan bangunan yang tak pantas ia katakan lagi sebagai rumah, tempat dimana semua orang ingin berpulang dan merasakan kenyamanan.

Perlahan namun pasti, waktu terus mengikis segala kenangan indah yang Qian miliki. Tanpa segan dan tanpa terkecuali. Sungguh, kejam itu memanglah ada.

Entah bagaimana, namun Qian tentu saja Qiandra Putri. Seorang wanita yang enggan menunjukkan air matanya di muka orang yang menerpurukkan dirinya.

Seperti saat ini. Ia memberikan seuntai senyuman indah pada laki-laki yang dari tadi sudah menunggunya di depan rumah Qian. Ah, sudahlah. Tidak perlu kita membuat situasi tebak-menebak, bukan? Jelas, siapa lagi kalau bukan Dheo.

FETCH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang