Bab 18 Teman

211 24 0
                                    

Jino memperhatikan kepergian Aya bersama Rean. Ia mengepal kedua tangannya yang sedang berdiri di lantai atas, sekolah. Ia semakin yakin kalau Aya benar-benar mempemainkannya. Bermain hati.

"Kenapa kau melakukan ini?" Jino menoleh ke Aldri yang di susul Dika, tanpa disuruh mereka ikut melihat apa yang sedang Jino perhatikan.

"Kalian lihatkan, Aya itu udah duain aku. Aku tidak bisa dengan wanita yang suka mengobral cinta."

"Bisa saja kita salah paham Jin, sama kayak waktu itu. Waktu kamu cemburu dan percaya dengan apa yang kamu liat." Aldri menjelaskan sebisanya, sementara Jino menggeleng.

"Mungkin aku memang bukan jodohnya sepupumu Al. Kita taulah, pergaulan Jakarta seperti apa. Pada nonton televisikan."

Jino berjalan dan mulai menginjak anak tangga satu persatu. Suara riuh angin mulai terdengar di atap sekolah, sejak tadi cuaca sudah memperlihatkan mood yang buruk. Mungkin sekarang saatnya ia segera turun dan menyiram bumi yang rindu akan tetesannya.

Perlahan tapi pasti, mereka sudah berjatuhan di atas tanah, dedaunan, atap sekolah dan bahkan seluruh rumah warga tanpa terkecuali. Mereka menghempaskan diri membuat manusia bahkan hewan sekalipun mengurung niat mereka untuk keluar dari persembunyian.

Begitupun dengan Jino, ia kembali ke kelasnya. Duduk lemas dan memikirkan penghiatan Aya, "kenapa mencintaimu sesakit ini Ay. Hiks hiks," Jino sudah tidak tahan dengan airmatanya yang sejak tadi ingin menetes di wajahnya yang tampan.

"Hiks, hiks, kenapa kau seperti pelangi Ay, datang sebentar untuk memberi keindahan dalam hidupku. Dan menghilang meski aku cegah. Hiks, hiks,"

Aldri merentangkan tangan kanannya di depan dada bidang Dika, membuat sang empu menghentikan langkahnya. Dika memperhatikan apa yang di tunjukan Aldri padanya, dilihatnya Jino sedang menangis di dalam kelas. Meski suara tangisannya tidak terdengar akibat riuhnya sang hujan, namun mereka dapat memastikannya dengan melihat wajah Jino yang mewek berat.

"Kenapa dia menangis, seharusnya kan Aya yang menangis." Tanya Dika setelah mengurungkan niat mereka untuk masuk, mereka memilih ke tempat lain dan membiarkan Jino sendiri dulu. Karena mereka yakin, kalau Jino lagi ingin menyendiri sekarang.

"Dia itu kan cinta sama Aya, dodol." Aldri menjitak bagian belakang kepala Dika yang refleks merintih, sembari mengusapnya.

"Tapi kan dia udah benci sama sepupu kamu itu. Ngapain juga harus di tangisin, orang dekat sama si setan kutub." Cerca Dika.

"Aku kasih tau ni sama kamu." Aldri menghentikan jalannya, Dika pun melakukan hal yang sama. Dia menanti apa yang akan Aldri katakan.

"Cinta dan benci itu sama," Dika mengibaskan satu tangannya, sembari menggeleng tidak percaya dengan omong kosong Aldri.

"Hello, sama apanya coba.

Cinta

Benci

Ya jelas bedalah Al.

Cinta itu membuat diri kita bahagia dan selalu ingin berdua setiap detik, sementara benci. Kita tidak ingin bertemu dengan orang itu, jangankan bicara. Melihatnya saja pun enggan." Terang Dika panjang kali lebar.

"Dengarin aku, aku tau istilah dari dua kata ini. Tidak perlu di jelaskan.
Cinta dan benci itu menjadi sama Dik, sama-sama memikirkan orangnya. Walaupun kamu sudah tidak ingin berbicara dan bertemu dengannya, pikiran kamu pasti akan tetap bandel untuk mengingat orangnya."

🎸🎸🎸

Jino berjalan pelan di atas aspal yang basah, sore ini ia terpaksa jalan kaki, karena motornya berulah dan ditinggalkan di bengkel langganannya.

Jino memegang payung hitam yang mencoba melindungi dirinya dari rintikan hujan, meski hujan sudah menjadi gerimis namun masih bisah membuat tubuh basa jika tidak menggunakan pelindung.

"Jino, aku tau. Kamu pasti sedang menangis, getaran tubuhmu terlihat jelas olehku. Aku tidak suka melihatmu terluka, aku tidak mau melihatmu bersedih seperti ini Jin. Kamu tenang, ada aku yang menemani kamu." Gumam Livia, ia mengikuti Jino saat keluar gerbang.

Livia berlari saat Jino melepaskan payungnya, dan membiarkan tergeletak di jalan. Jino meletakan pantatnya di atas aspal yang basah, ia kembali meneteskan airmata.

Livia segera mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, ia mendekat dan mengusap air mata lelaki yang ada di depannya. Terlihat menyedihkan dan kacau. Jino tersentak, ia segera men dorong tangan Livia. Membuat gadis itu terduduk karena sebelumnya dia berjongkok.

"Pergi!"

Livia kembali mencoba untuk mengusap air yang ada di wajah Jino, namun dia mendapat perlakuan yang sama. "Aku bilang pergi. Aku ingin sendiri." Wajah Livia terlihat buram oleh Jino, karena matanya dipenuhi cairan bening yang tidak tahu bendungannya ada di mana.

Livia menarik tubuh Jino, ia menyandarkan ke badannya. Sekrang mereka sama-sama kehujanan. "Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian Jin, apa lagi saat kamu merasakan sakit. Kita ini teman, harus saling menemani. Baik itu sedang bahagia maupun sedih. Karna itulah arti dari kata teman yang sebenarnya."

Selain memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman, Livia melakukannya karena sudah seharusnya dia membalas perlakuan yang sering Jino lakukan kepadanya.

Dari kecil bahkan sampai sekarang, Jino selalu memberikan semangat untuk Livia. Baik itu dalam pendidikan maupun masalah pribadinya. Jino selalu menyokongnya, tanpa lelah ia selalu menasehatinya hingga dirinya kembali tersenyum.

Aku tidak akan melepaskanmu kepada mereka yang membuat hatimu terluka. Tetaplah denganku, yang jelas akan selalu membuatmu tersenyum dan bahagia. Batin Livia masih memeluk Jino yang masih membuat getaran pada tubuhnya.

Tbc.

Ayo reader dukung Jino ke siapa ni, Aya atau Livia?

You're My Soul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang