20; his sweat

1.9K 473 108
                                    

athar's pov

Aku tidak pernah mengerti kenapa teman-temanku suka mengajak pacarnya menonton pertandingan.

Alih-alih merasa semangat, aku justru tidak bisa berkonsentrasi karena terus-terusan melirik Nadine yang duduk di bangku penonton.

Nadine, yang mengenakan jersey warna merah marun bertuliskan Shailendra dengan nomor punggung 27, berseru-seru riang, menyanyikan yel-yel fakultas bersama yang lain. Saling merangkul sesama anak hukum, membentuk ombak manusia mini.

(Bagaimana Nadine bisa membuat jersey jelek terlihat fashionable di tubuhnya adalah suatu misteri.)

Sesuai tebakanku, ada Sena yang tampak kebingungan hendak mendukung siapa. Di sisi kanan ada lautan merah, sementara sisi kiri dipenuhi anak-anak berpakaian biru muda, warna makara fakultas psikologi. Akhirnya mantan pacar Nadine itu datang dengan kemeja kotak-kotak merah biru dan mengambil tempat di sisi paling pinggir anak-anak hukum. Mendukung fakultas sekaligus memberi jarak, cerdik juga.

Yang menyebalkan adalah, meskipun matanya terpaku pada Marissa yang sibuk mondar-mandir, sesekali kudapati ia melirik Nadine yang sibuk bersorak.

Senyumannya terbit ketika melihat Nadine, bukan Marissa.

Pertandingan berjalan dengan baik, dan sejujurnya Psikologi tidak terkenal dengan kepiawaiannya akan olahraga, maka dengan mudah kemenangan diraih.

Sorak sorai dan gagap gempita anak-anak hukum memenuhi lapangan. Semua beramai-ramai menyanyikan mars fakultas sambil melompat-lompat kegirangan. Aku menemui Nadine yang juga asyik berselebrasi.

"Nih," Nadine menyodorkan mizone dingin, yang kuteguk penuh syukur setelah menggumamkan terima kasih.

"Nggak meluk?" tanyaku memberi isyarat pada pasangan anak hukum lainnya yang berpelukan karena senang kekasihnya menang.

Nadine mengerutkan hidung, "Kamu bau keringet, ogah."

Bunda selalu bilang aku punya kelebihan tidak memiliki keringat yang bau, tapi toh aku juga tidak benar-benar ingin dipeluk Nadine, maka aku hanya mengangguk.

"Harusnya kamu kalah, tau," komentar Nadine kesal, kali ini sambil menyerahkan handuk kecil. Pasti bagian dari perannya sebagai pacar yang baik. Percuma juga, sih, mengingat semua orang sibuk berselebrasi, tidak akan ada yang memperhatikan sandiwara kami.

"Kamu mau fakultas kita kalah?"

"Iya, biar nggak ada adegan gituan," sahut Nadine sinis pada pemandangan di sudut lapangan. Rupanya Marissa tengah menangis di pelukan Sena. Di tengah euforia anak-anak hukum, mereka tampak mencolok seperti sepasang kekasih dalam drama tragedi.

"Ya udah," aku mengalungkan handuk ke leher dan merentangkan tangan, "Sini, kita juga. Impas, kan?"

Nadine mengamatiku dari atas sampai bawah dan berdecak, "Your sweat is disgusting, Captain. I love to keep myself clean, thank you very much."

"Geez, no need to remind me, Princess."

"Tapi," Nadine melangkah maju, matanya berkilat, "Aku punya ide yang lebih baik."

Nadine mengalungkan lengannya ke leherku dan menciumku.

Tepat di bibir.

Di hadapan semua orang.

+ e d g e o f d a w n +

Edge of Dawn [✔]Where stories live. Discover now