22; his trophy

1.8K 445 58
                                    

athar's pov

Aku tahu Nadine menganggapku sebagai sebuah tropi.

Simbol kemenangan Nadine. Bukti nyata ia bisa berpindah hati secepat membalikkan telapak tangan. Menyeretku ke segala tempat yang ada Sena untuk menunjukkan pada mantannya bahwa Nadine Dyah Gitarja tidak butuh Putra Anantasena dalam hidupnya.

Aku paham karena aku juga tidak memandangnya sebagai seorang perempuan, melainkan alat pengusir hama dalam sosok bernama Tante Imelda.

Begitulah jadinya bila kau menyatukan dua orang berkepribadian buruk; mereka akan saling memanfaatkan satu sama lain demi kepentingan pribadi.

Tetapi apa tidak kelewatan namanya mencium tropimu sendiri?

"Kamu masih marah?"

Aku mendelik sambil melipat tangan. Huru hara di kelas akibat file persentasi Sena yang mendadak terkena virus (bukan kecelakaan, karena pelakunya sedang mengamatiku dengan tatapan sok lugu) membuat kepalaku semakin pening.

"It's just a kiss, why bother?" gumam Nadine, berhati-hati agar tidak ada yang menguping pembicaraan kami. Sia-sia, karena toh kami sudah duduk di pojok paling belakang dan tidak ada yang berada dalam jarak dengar.

"Princess."

"It's not your first kiss either, Captain. Lebay banget, deh," Nadine mengatakannya padaku seolah aku anak kecil yang meributkan sesuatu yang remeh.

Nadine benar, itu bukan ciuman pertamaku, tapi tetap saja. "Aku nggak suka, Princess."

Aku tidak suka dia menciumku dan bersikap biasa saja setelahnya. Seakan kejadian tempo hari di lapangan futsal bukan masalah besar. Tidak adil sementara kejadian itu menyita seluruh perhatianku hingga detik ini.

Nadine memutar mata tak sabar. "So? I don't give a shit if you like it or not."

Apa Nadine tidak mengerti konsep ciuman di bibir adalah kontak fisik yang hanya kau berikan pada orang yang kau sayangi?

"Would you kiss a stranger, Princess?"

"I would, if you pay me nicely," jawab Nadine spontan, yang jelas membuatku terbelalak tak percaya. Apakah ciuman baginya semurah itu? Dapat dinilai dengan uang?

Reaksiku mengundang decakan jengkel Nadine. "Never thought you are a hopeless romantic, Captain. Apa bedanya ciuman di pipi dan di bibir? Mencium kamu nggak ada bedanya dengan cium tangan dosen."

Sial, bibirku baru saja dibandingkan dengan tangan bapak-bapak paruh baya yang berbulu.

"For me, a kiss is just a kiss. No need to involve your feeling. I'm sorry for your delusional ass, Captain, but we didn't put feeling in this relationship. Don't step out of line."

Sudah sejak lama aku tahu Nadine adalah manusia yang tidak punya hati, mengapa aku masih saja terkejut dengan jawabannya? Kutatap matanya, yang memercikkan emosi jengkel dan tak sabar.

Mata Nadine balik mengamatiku dalam-dalam. Aku tidak tahu apa yang ia lihat dari ekspresiku, namun setelahnya ia menggeleng kecil. "Oke, oke, aku nggak bakal nyosor kamu mendadak lagi. Aku bakal ngirim surat permohonan minta izin untuk ciuman tiga hari sebelumnya ke email kamu. Happy now?"

"No."

Pacarku mengangkat bahu. "I don't care. Now shut up and let me enjoy Sena's panic face."

Kalau sudah memasang raut muka seperti itu, artinya pembicaraan sudah selesai dan Nadine tidak menerima penolakan. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya mengumpat dalam hati sambil mencoba untuk tidak curi-curi pandang pada bibir Nadine yang berwarna merah ceri.

"Stop staring, Captain, or else I'll kiss you again."

Shit.

+ e d g e o f d a w n +

Edge of Dawn [✔]Where stories live. Discover now