nadine's pov
Rencanaku sempurna.
Seharusnya tidak ada kesalahan berwujud senior kampus yang sok tahu. Maka dengan senang hati aku melanggar perintah Athar (dia pikir dia siapa?) untuk tak menghubungi Eros (hanya karena dia lebih tua dariku tidak berarti harus kupanggil Abang).
"Easy," Eros meletakkan cangkir kopinya dan menyeringai begitu kutanyai dari mana ia tahu sandiwaraku dan Athar. "Mata kamu, Darling."
Aku menatapnya datar, meminta penjelasan lebih dari sekadar gombalan tak mutu.
Eros tergelak, dan bisa kulihat mengapa banyak gadis tergila-gila padanya. Cowok ini tipikal carefree dan tak mampu dikekang, membuatmu gatal ingin menaklukannya.
Bukan tipeku.
"Mata kamu nggak bisa bohong, Sayang. Cara kamu liat Sena dan Athar itu beda. I don't see love in there," Eros berhenti sejenak, mengamatiku yang masih menolak memberi reaksi yang ia mau, "Beda sama Athar. Because, unlike someone, he looks like a guy in love."
Kubiarkan mulutku berdecak sebal. "Kalo itu gue juga tau."
Benar, aku tahu Athar mulai tertarik padaku. Bertolak belakang dengan imejnya yang dingin, matanya bak buku terbuka. Begitu mudah dibaca dan ditebak. Tidak menarik.
Tapi mataku? Kukira kemampuan aktingku sudah mencapai titik di mana seluruh tubuhku dapat mengikuti komandoku. Namun itu saja tidak cukup, pasti ada alasan lain. Athar memang bukan aktor paling piawai, tapi ia tidak akan membocorkan rahasia. Apa yang kulewatkan?
"Futsal lawan psiko," imbuh Eros seolah membaca pikiranku. "Saya denger percakapan kalian berdua. Apalagi dari dulu saya sudah memperhatikan kamu, mudah menyimpulkan kalo kalian bukan pasangan biasa. Ciuman yang spektakuler, by the way. You're a good kisser, Nadine."
Shit. Kukira hiruk pikuk euforia akan menutupi obrolanku dengan Athar waktu itu.
Aku masih mau bermain-main dengan Sena, dan tidak akan kubiarkan sebutir kerikil menggangguku.
Kusilangkan kaki, dengan kedua tangan terlipat dada. "So? What do you want, Eros? Me?"
"Saya sayang kamu," Eros menjawab ringan, namun tatapannya menusukku, "Saya mau kamu sejak kamu maba. Saya tahu semua tentang kamu, Nadine. Nomor kamar kosan, second acc instagram kamu, ukuran sepatu kamu, semuanya."
One word: creepy.
Pada situasi lain, aku pasti langsung angkat kaki, but hey, he might be useful...
"Oke, lo boleh jadi pacar gue, dengan syarat," kucondongkan tubuh, berujar dengan nada rendah. Aku sudah belajar dari kesalahan, tempat umum selalu punya telinga. "Lo pacarin dulu Marissa."
Puas rasanya melihat mata Eros terbelalak kaget. Don't you think it's easy to date me, mister stalker.
"Itu satu-satunya yang nggak bisa Athar lakuin, tapi lo bisa; pacarin Marissa, bikin dia tergila-gila sama lo, dan pas dia lagi sayang-sayangnya, putusin. If you can do that, I promise we'll be together."
Eros praktis tersenyum lebar kegirangan, sebelum logikanya kembali bekerja dengan menyebutkan satu nama, "Athar?"
Aku tertawa geli. Siapa yang peduli dengan Athar? "Ya gue putusin, lah. He doesn't own me, and so does everyone else."
Sejujurnya, aku tidak punya dendam pribadi pada Marissa. Objek balas dendamku hanya Putra Anantasena seorang. Bila memang ia setia padaku, disodorkan seribu Marissa pun seharusnya ia bergeming.
Namun bila memakai Marissa dapat mencapai tujuanku menyakiti Sena, dengan senang hati kulakukan.
Nah, Sena, mari kita lihat reaksimu saat cewek barumu selingkuh?
+ e d g e o f d a w n +
YOU ARE READING
Edge of Dawn [✔]
Short StoryAthar and Nadine aren't meant to be, but they can manage. // edge series #1