nadine's pov
Menyenangkan sekali melihat perubahan sikap Athar sejak kuberitahu perjanjianku dengan Eros.
Mood-ku pun semakin baik setiap kali menerima laporan harian Eros akan kegiatan pedekatenya dengan Marissa. Aku tahu chat itu berupa modus terselubung, tapi tidak ada salahnya memuji anjing yang menuruti perintah majikannya, kan?
Semuanya berjalan sesuai keinginanku.
Kecuali ketika hujan turun dan aku berteduh di emperan minimarket bersama Sena hari ini.
Dia masih seperti dulu. Masih Putra Anantasena yang beraroma parfum pilihanku. Masih cowok yang terlihat sempurna dengan butiran air hujan yang menghiasi rambut hitamnya layaknya embun peri. Masih Sena yang familiar, seolah aku dan dia dulu bersama di kehidupan sebelumnya.
Satu-satunya yang tidak kukenali darinya adalah alasan dia berselingkuh.
Aku tidak berani bertanya. Aku benci mengakui kekurangan. Aku pacar yang sempurna. Aku rela memakai topeng supelku seumur hidup untuknya. Apa lagi yang kurang?
"Ad."
"Nama gue Nadine."
Sena tersenyum. Masih senyum yang sama, spesial hanya untukku. Apakah ia tersenyum seperti ini juga pada Marissa?
"Kamu apa kabar?"
"Baik."
Kurasakan Sena menatapku dalam-dalam, namun aku tidak menoleh. Kupaksakan netraku untuk menonton butir-butir air hujan yang membasahi jalanan, mobil dan motor yang berlalu lalang, ojek payung yang berlari-lari, apa saja selain Sena.
"Are you happy? With him?"
"Are you happy with Marissa?" aku bertanya balik, menolak untuk kalah. Menunduk, tatapanku tertuju pada lumpur di sepatu putihku, yang waktu itu kubeli bersama Athar. Mengingat kelakuan barbarku, ia bilang aku tidak akan bisa menjaganya putih bersih.
Tetapi aku tetap membelinya, karena Sena menyukai warna putih.
"I was happier with you."
Jawaban yang sudah bisa ditebak. Tentu saja, tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal ini. Aku yang paling tahu soal Sena. Itulah sebabnya aku juga yang paling tahu bagaimana menyakitinya.
Tetapi kalau Sena bahagia, kenapa memilih Marissa?
"I'm sorry." Sena masih lekat mengamatiku. Kali ini, aku menyerah dan menatap balik. Ketulusan terpancar dari matanya.
"For what?" suaraku bergetar, entah menahan rindu, atau amarah, atau keduanya.
"Cheated on you. I'm sorry, you'll never truly know how ashamed –"
"Stop. I don't need your apologize, Sena. I want an answer. Why?"
Selama sesaat, Sena tidak menjawab. Hujan sudah mulai reda menjadi rintik-rintik kecil. Aku bisa saja angkat kaki sekarang, lenyap dari pandangannya sebelum mendengar omong kosong entah apa yang Sena bicarakan.
Tetapi kakiku bertahan, karena aku harus tahu. Kekuranganku di matanya. Alasan kenapa ia mencampakkanku.
"It just happened, Ad. Me with Marissa, she makes me happy. It's –"
"And I don't?"
"You do, but it's different with her. She... reminds me a lot of you, actually. Pas kita pertama kenalan di kelas tata negara, do you remember? Our jokes about George Jellinek?"
What a jerk.
Aku? Mirip dengan wanita jalang itu?
Selama ini tidak ada yang salah denganku? Semua semata-mata karena ia tertarik pada wanita lain? He is fucking cheated just because he can?!
Tanganku terangkat, bergerak untuk menamparnya. Lantas terhenti, begitu mata kami bertemu.
"Ad..."
Aku berbalik dan berlari menembus gerimis. Membiarkan sepatu putihku menginjak kubangan lumpur. Meninggalkan mantan pacarku yang bajingan.
Seharusnya aku menyesal tidak menamparnya, memukulnya, melampiskan amarahku dengan segala umpatan yang sehari-hari biasa kulontarkan pada Athar.
Namun mulutku bungkam.
Sebab sampai akhir pun, aku masih ingin menjadi Nadine the good girl di depan Putra Anantasena.
+ e d g e o f d a w n +
YOU ARE READING
Edge of Dawn [✔]
Short StoryAthar and Nadine aren't meant to be, but they can manage. // edge series #1