39; her sunday

1.5K 401 31
                                    

nadine's pov

Seorang Nadine bangun pagi di hari Minggu adalah hal yang mustahil.

Tetapi mengapa aku menemukan diriku sendiri menyendokkan bubur di pinggir jalan alun-alun kota, pukul tujuh pagi lebih lima belas, pada hari Minggu? Badanku bersimbah keringat, sepatuku kotor oleh tanah, dan bibirku pucat tanpa pewarna.

"Nanad nggak suka kacang, ya?"

Mengerjap, aku bergegas mengangguk mengiyakan pertanyaan Om Andri. Sebelum sempat membuka mulut, Athar sudah terlebih dahulu menyahut, "Iya Yah, makanya tadi Athar minta satunya nggak pake kacang, eh abangnya lupa."

Dan tentu saja, seperti yang sudah-sudah, Athar dengan telaten memindahkan butir-butir kacang terkutuk itu ke mangkoknya sendiri. Kemudian tanpa diminta menambahkan kerupuk yang banyak ke mangkokku.

Bubur ayam tanpa kacang, kerupuk dibanyakin, kesukaanku. Yang Athar hapal persis sama seperti aku mengingat betul pesanan favoritnya; bubur ayam tanpa daun bawang, pakai kecap yang banyak, lantas diaduk. Terakhir diberi taburan kerupuk yang sudah diremukkan menjadi remah-remah.

Lucu juga betapa banyak hal-hal kecil tentang Athar yang tanpa sadar kuhapal hanya karena kami sering bersama.

"Kamu sukanya apa, Nad? Sate usus atau telur?"

"Telur puyuh," jawabku, bertepatan dengan Athar meletakkan dua tusuk sate telur puyuh ke mangkokku.

Sebentar. Aku masih tidak mengerti kenapa aku mengiyakan ajakan Athar untuk lari pagi bersama keluarga Shailendra, padahal tidak ada Tante Imelda di sini? Bisa saja kan aku mengabaikan pesan dan telponnya seperti yang sudah-sudah?

Om Andri tertawa melihat kelakuan anaknya, lantas melakukan hal yang sama; memberikan sate telur puyuh untukku. "Makan yang banyak, ya, tadi larinya semangat banget pasti kamu laper."

Sebuah tanda tanya menghampiri benakku. Athar memperlakukanku bak putri raja, sudah biasa. Itu bagian dari perjanjian kami, perannya sebagai pacar gadungan. Tetapi Om Andri beda cerita. Ini sama sekali di luar skenario. Aku tidak pernah menyangka beliau akan melihatku seperti putri kandungnya sendiri seperti sekarang.

Oh, ralat, melihatku seperti reinkarnasi cinta pertamanya.

"Gimana Nad kuliahnya? Seru? Capek?"

Wow. Kapan, ya, terakhir kali ada yang menanyakan perkembangan kuliahku? Hanya Sena, itu pun dulu. Papa saja tidak pernah. Athar tidak dihitung sebab ia selalu bersamaku, tidak perlu diberitahu apalagi bertanya.

Rasanya asing, tidak wajar, aneh.

It feels weird.

A good kind of weird.

"Nad?"

"Princess?"

Aku mengangkat muka, bertemu dengan tatapan khawatir Om Andri. Di sampingku, Athar menyikut lenganku pelan, rautnya cemas.

Ah.

Sekarang aku tahu kenapa aku rela bangun pagi di hari Minggu.

Aku tersenyum, kali ini tanpa dipaksakan. "Sorry Om, tadi nanya apa?"

Beliau mengulang pertanyaannya, dan dengan senang hati aku bercerita tentang kuliahku, tugas-tugasku, teman-temanku. Athar sesekali menanggapi, memberi detail tidak penting seperti nilaiku yang tinggi dan persentasiku yang dipuji dosen.

Om Andri mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dan sorot matanya bangga mendengar pencapaianku yang sederhana.

Like a proud father of his daughter's achievement.

Aku mengerjapkan mata yang mendadak terasa perih.

Shit, why would I want to cry right now?

+         e d g e o f d a w n        +

Edge of Dawn [✔]Where stories live. Discover now