34; his voice

1.6K 421 27
                                    

athar's pov

Seharusnya aku tidak kaget melihat sosok Nadine di depan pintu apartemenku pada pukul sebelas malam.

"Carpool karaoke, yuk."

"Sekarang?"

Tanpa permisi Nadine masuk, dengan santai mengambil kunci mobilku yang tergeletak di laci meja samping kasur.

"Princess, sekarang udah jam –"

Pacarku sudah lenyap ke lorong apartemen sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku.

Hebat.

Tahu tidak ada gunanya membantah, aku menyambar jaket dan bergegas mengikutinya menunggu lift. Nadine adalah tipikal manusia yang katanya ingin karaoke di mobil namun berakhir membawa kabur mobilku berpesiar di Lombok. Aku tidak boleh lengah barang sedetik.

"Aku yang nyetir," kusambar kunci mobilku begitu kami tiba di basement.

Dan begitulah ceritanya mengapa aku menyetir tanpa tujuan dengan seluruh jendela mobil terbuka dan musik mengalun keras tidak tahu diri.

Entah sudah berapa banyak lagu yang diputar, mulai dari lagu barat, lokal, jepang, korea, mandarin, hingga dangdut koplo. Semuanya Nadine nyanyikan dengan penuh semangat, seolah-olah mobilku adalah panggung konser solonya.

Barulah pada pukul dua pagi Nadine menguap panjang dan mengganti lagunya menjadi bertempo lambat. Ia mengeratkan jaketnya seraya mencari posisi meringkuk yang nyaman. "Now it's your turn, Captain. Mau nyanyi lagu apa?"

Terakhir kali aku menyanyi di depan orang lain adalah saat pentas seni masa SMP dulu. Kritik pedas dari guru seniku membuatku menyadari betapa dahsyatnya suaraku untuk dikategorikan sebagai polusi suara.

"Nggak usah, lagu kamu aja," tolakku sambil menyetir mobil menuju jalan pulang. Aku sudah memutari kota sekurang-kurangnya tiga kali. Aku tidak mau menambah jumlahnya jadi empat apalagi lima.

Nadine mencubit lenganku keras-keras. "Nyanyi," perintahnya.

"Suara aku jelek."

"I don't care."

Kenapa, sih, aku tahan berpacaran dengan cewek tukang perintah macam Nadine?

Kusebutkan judul lagu yang kurasa tidak begitu sulit dinyanyikan. Beberapa detik kemudian, nada yang familiar mengalun.

Takut-takut, aku menyanyi. Bait pertama, kulirik Nadine. Tidak ada reaksi, gadis itu hanya memandangi lampu jalanan sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Menemukan keberanian dari wajah tak peduli Nadine, aku meneruskan lagunya. Begitu sampai chorus, kepercayaan diriku meningkat, begitu pula dengan suaraku yang semakin keras. Tahu-tahu saja, tanpa terasa, lagunya usai.

Aku menelan ludah, menunggu omelan panjang lebar soal seharusnya aku tidak menyanyi sama sekali.

Yang ada Nadine justru bertanya, "Mau nyanyi lagu apalagi?"

"Tapi suara aku –"

"Iya, jelek." Pacarku menoleh, menatapku lekat-lekat. "Tapi sejak kapan ada larangan suara jelek nggak boleh nyanyi?"

Nadine, manusia paling mudah jengkel yang pernah aku kenal, tidak keberatan dengan suaraku?

"Sing, Captain," pintanya pelan, bukan dengan nada superior seperti tadi. "It's alright."

Kami sampai ke apartemenku pukul tiga pagi. Aku memutuskan untuk memutari jalanan kota satu keliling lagi, dengan semua lagu pilihanku terputar tanpa jeda. Hal terakhir yang Nadine ucapkan sebelum masuk kost adalah;

"Let's do carpool karaoke every Monday, Captain!"

Itu kalimat terbaik yang pernah aku dengar dari pacarku.

+         e d g e o f d a w n        +

Edge of Dawn [✔]Where stories live. Discover now