24; his wednesday

1.9K 459 102
                                    

athar's pov

Berpacaran dengan Nadine artinya melangkahi lapangan penuh ranjau.

Pengalamanku dengan mantan sebelumnya cukup memberiku to-do-list singkat dalam suatu hubungan. Memakai aku-kamu, antar jemput, bertukar kabar setiap waktu, dan sejenisnya.

Hubungan kami yang fiktif jelas mencoret beberapa hal. Aku tidak perlu menanyakan kabarnya atau mengajaknya jalan setiap malam minggu. Seharusnya mudah saja bersandirawa hanya di di depan Ayah dan Sena.

Kenyataannya, Nadine memiliki seribu satu skenario gila yang ingin ia jalankan setiap kali kami di lingkungan kampus. Kata-katanya yang menusuk hati juga membuatku gatal ingin menyekolahkan mulutnya kembali ke taman kanak-kanak.

Untungnya sekarang adalah hari Rabu, alias hari bebas, dalam artian kami tidak perlu kembar siam kemana-mana bersama. Waktu untukku kembali menjadi Athar Shailendra sebelum bertemu Nadine Dyah Gitarja.

Alasannya sederhana saja, Sena tidak ada kelas pada hari itu. Drama Nadine jelas sia-sia tanpa kehadiran penonton utamanya.

Begitu kelas usai, aku bergabung dengan gerombolan temanku yang sudah menempati meja di sudut kantin. Mengobrol ngalor-ngidul, merokok, dan menertawakan hal-hal receh. Lepas dari kekangan Nadine adalah satu hal yang patut disyukuri. Akhir-akhir pacarku bisa luar biasa manja tanpa pemberitahuan. Tiada angin maupun hujan, tahu-tahu saja sudah menggelayut tak mau lepas.

Sebelum kusadari, topik obrolan sudah berubah menjadi cewek-cewek cantik di kampus.

Gilang, yang berada di sampingku, menyikut dengan tatapan penuh konspirasi. "Udah sampe mana lo sama si Nanad?"

"Baru tiga bulan, broo! Bisa apa dia!" sahut Bisma dari ujung meja menyoraki sambil melempar bungkus rokok kosong. "Jadian aja nggak bilang-bilang!"

Bukan tanpa alasan Bisma berkata demikian dengan nada sedikit kesal. Saat masih mahasiswa baru, dia sempat mengejar-ngejar Nadine, yang ditolak mentah-mentah oleh pacarku itu. Egonya jelas tersentil saat tahu aku dan Nadine bersama.

Adji mengeleng-geleng kepala, matanya mengamati sosok Nadine yang tengah berkumpul bersama gengnya. "Ukurannya berapa, sih, Thar?"

Bisma ikut-ikutan, "C cup nggak nyampe, sih."

"B sih, kalo kata gue, kecil gitu," Gilang menyahut.

"Lo pernah liat nggak sih pas Nanad pake baju –"

Aku spontan berdiri. Membanting kitab undang-undang ke atas meja dengan keras.

"Fuck off."

Semuanya langsung terdiam.

Kuedarkan tatapan pada setiap pasang mata di sana. Pesannya jelas, jangan berani-beraninya menyebut nama Nadine dengan mulut kotor mereka.

Nadine memang cewek paling merepotkan, tapi dia bukan objek fantasi bajingan yang tidak punya otak.

Beberapa saat kemudian, aku muncul di belakang kursi Nadine. Teman-temannya berhenti tertawa dan memberi isyarat padanya untuk berbalik.

Nadine mengangkat alis, memberi pertanyaan tanpa suara. Aku hanya menggeleng dan menarik kursi di belakang Nadine. Mendudukkan diri dan tidak berbicara apa-apa.

Tangannya mengusap kepalaku pelan, "Kenapa?"

"Pulangnya bareng."

Gadis itu mengerjapkan mata tak paham. Hari Rabu harusnya hari bebas pacar, pulang sendiri-sendiri. Tetapi, setelah melihat wajahku, Nadine mengangguk pasrah, "Ya udah, entar kalo udah selesai aku chat."

"Aku nungguin kamu aja."

Kusandarkan badan ke kursi dan melipat tangan. Berpura-pura tidur. Obrolan cewek-cewek juga sama membosankan dengan tadi, gosip murahan, skincare, makeup, dan entah apalagi.

Setidaknya masih lebih baik dari membicarakan ukuran aset lawan jenis mereka.

+        e d g e o f d a w n        +

Edge of Dawn [✔]Where stories live. Discover now