nadine's pov
"Bagusan yang mana, ya? Ini atau ini?"
Yang tadi bertanya adalah Tante Imelda, menunjuk benang wol berwarna hijau zaitun dan hijau daun. Dua minggu lagi Ayah Athar ulang tahun, dan Tante Imelda ingin merajut syal untuknya.
Syal di Jakarta yang panasnya bak neraka adalah pilihan hadiah paling bodoh yang pernah aku dengar.
Lantas Tante Imelda meminta bantuan Athar untuk memilih warna benang wol yang disukai Ayahnya. Yang itu artinya aku harus ikut serta, melakoni peranku sebagai pacar Athar Shailendra.
(Aku heran, apakah Tante Imelda tidak tahu ada teknologi bernama telepon. Itu, lho, alat untuk berkomunikasi jarak jauh tanpa perlu merampas indahnya liburan seseorang di hari Minggu.)
Pacarku memasang wajah bosan, tidak repot-repot menyembunyikan kuapan dan mata yang digelayuti kantuk. Kusikut lengannya keras-keras. Athar terlonjak kaget dan melotot tak suka. Enak saja dia mau curi-curi tidur.
"Menurut kamu bagusan yang mana, Princess?" Athar justru bertanya balik.
Kurang ajar. Berani sekali dia melempar pertanyaan itu padaku. Yang ulang tahun, kan, Ayahnya, bukan Papa.
Tante Imelda memandangiku penuh harap, mau tak mau aku buka suara dan menunjuk warna hijau daun, "Yang ini aja, Tan, kayaknya seger deh liatnya. Cocok sama kulit Om Andri yang putih."
Beliau mengamati warna itu sejenak, lalu mendekatkan benang tersebut ke arah tangan Athar, "Coba sini Tante mau liat, kulit kamu kan warnanya sama."
Aku baru saja mau melepaskan jemari kami yang saling bertaut ketika Athar justru mengeratkan genggaman kami. "Bagus, Tan, bagus."
Wanita berkacamata itu mengerutkan kening, matanya berpindah pada tangan Athar yang seolah menempel dengan tanganku. Senyumnya tersungging, "Dasar kids jaman now, nggak mau lepas dari tangan pacarnya, ya. Padahal cuman bentar, kok, bandingin doang. Ya udah, Tante beli warna yang ini, deh."
Setelah memberi kami tatapan dasar-anak-muda, Tante Imelda berjalan menuju kasir. Begitu tubuhnya berbalik aku langsung melepaskan tangan Athar. Basah karena keringat. Ew!
Aku mengelap tanganku ke kaus Athar tanpa dosa. Toh ini keringat dia juga, aku hanya mengembalikannya pada pemiliknya.
Responnya hanya menguap dan menggosok mata. "Kamu entar ngasih kado ke Ayah juga, kan?"
Kuanggukkan kepala malas. "Kamu yang beli, aku tinggal ngasih."
"Iya. Kasih apa, ya? Kalo Papa kamu suka apa?"
"Papa suka koleksi perangko," jawabku seraya melihat-lihat, menarik juga benang warna-warni ini. Pasti lucu, deh, kalau foto di sini, candid ala-ala tumblr. Seandainya saja Athar berbakat mengambil fotoku. "Dulu Mama sering ajak aku berburu perangko lama buat Papa."
Athar terdiam sejenak, membuntutiku dalam hening. Kubiarkan ia sibuk dalam pergulatan pikirannya sendiri. Ketika aku sedang menyentuh benang berwarna toska, ia buka suara.
Seketika aku menoleh.
Aku mengenali nadanya. Nada bicara yang hanya dipakainya setiap kali menceritakan sesuatu, atau seseorang, yang ia sayangi.
"Setiap Ayah ulang tahun, Bunda bikin tumpeng mini. Ada telur, tempe, perkedel, ayam goreng," Athar memberi jeda, menunggu reaksiku.
Aku menatapnya balik dengan wajah datar tanpa ekspresi. Maka dia melanjutkan dengan ragu-ragu, begitu pelan nyaris berbisik, "Gimana kalo kamu masak itu aja? Gantiin Bunda?"
Caranya berbicara, tatapan matanya, semua tentang Athar sekarang mengingatkanku akan sesuatu. Memori masa lalu Nadine kecil yang menatap harap pada Papa, menanyakan keberadaan Mama yang tidak pernah kembali sejak naik pesawat.
Kali pertama dan terakhir aku melihat Papa menangis.
Maka pada tanggal 28 Februari, di hari ulang tahun Andri Shailendra yang keempat puluh tujuh, beliau hanya memakan tumpeng buatanku; baik untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.
Athar tidak mengucapkan terima kasih, namun keesokan harinya ia membawakanku nasi uduk Pak Qosim sebagai sarapan beserta origami bunga lili.
+ e d g e o f d a w n +
YOU ARE READING
Edge of Dawn [✔]
Historia CortaAthar and Nadine aren't meant to be, but they can manage. // edge series #1