Bab 43

41 3 0
                                    

Ber iring-iringan Sang Raja Sriwijaya meninggalkan Lapangan pertandingan, Nampak rapi pakaian semua Prajurit kerajaan, bentuk badan yang seimbang dengan ketinggian yang sama, di padu dengan seragam yang sama pula, seperti design baju celana dan ikat kepala, sehingga enak di pandang mata.

Warna merah menyala, dengan garis emas di tepinya, berbentuk rompi, gagah di pandanginya, semua tertuju ke sana.

Riman Risangsang  bisa ber istirahat dengan tenang, di siapkan tempat istirahat di kamar samping Kerajaan, yang sudah di siapkan oleh juru kunci kerajaan.

Setelah membersihkan diri, di tepian sungai Musi, membuat badan semakin segar, terasa tenaga pulih kembali ringan kaki melangkah menuju Kedai makan yang banyak orang menikmati hidangan.

Menunya sangat sederhana tetapi bumbu rempahnya harum sangat menggoda, sepiring nasi putih, semangkuk pindang ikan baung pada bagian kepala dan dada, sambal nanas pedas di tambah lalapan daun muda, sudah cukup membuka selera.

Selesai bersantap malam, Riman Risangsang bergegas pulang, ingin rasanya melepaskan buai mimpi yang lama di rindukan.

Langsung menuju pembaringan, setelah melewati dua pintu gapura pada lapis pertama tepian kerajaan Sriwijaya, yang dijaga ketat oleh prajurit muda yang masih gagah perkasa.

Semuanya dengan sikap sempurna,mengawasi dengan penuh selidik orang -orang yang melewati pintu gapura di wilayahnya.

Tak terkecuali Riman Risangsang yang selalu di periksa setiap melewatinya, karena itu sudah tugas wajibnya para prajurit untuk mengamankan negara sang prabu Sriwijaya.

Malam semakin larut, merambat dengan sangat cepat bagi raga raga yang lelah, namun tidak bagi si Jelita Putri sang Raja Sriwijaya, bola matanya yang bening sulit di pejamkan, pikiran-nya menerawang,  mengenang sang puja-an, Jejaka Penyimpan Melati tusuk rambutnya.

Matanya masih juga tak mau terpejam, padahal hari sudah waktu malam dari kejauhan, para penjaga keliling bersautan memukul kentongan sebagai tanda hari telah larut malam.

Sang putri raden Ayu Sri Asmara Tungga, anak dari Raja Sriwijaya telah di main kan hatinya, panah asmara sedang bersemayam di dadanya, matanya yang begitu indah selalu terbayang dengan pujaan nan gagah perkasa sang pengembara Riman risangsang.

Betapa tampan dan rupawan dengan ikat di-kepalanya, menunduk tapi melihat, terpejam tapi bergejolak mengggoyang -  goyang hatinya, mencabik-cabik pikiran-nya, mengisi lamunan-nya yang penuh bunga-bunga cinta.

Padahal yang sebenarnya ia tidak tau siapa pemuda itu, dari mana, dari keluarga apa, tapi kenapa bisa selalu bermain main di mata yang tidak mau terpejam sekejap saja.

Padahal biasanya, tidak ada rasa seperti ini sebelumnya, ketika masuk di peraduan nya, begitu saja langsung tertidur pulas hingga esok matahari pagi masuk di kediaman-nya.

Hingga pada kentongan putaran ketiga, ketika semua penjaga matanya masih terlelap memeluk tongkat dalam kondisi berjaga, bahkan ada yang berdiri tegap bersiaga tapi matanya terpejam terdengar suara dengkuran-nya.

Sangat aneh kelakuan manusia, semua bisa terjadi dengan kondisinya, mungkin karena tekanan yang di paksakan hingga melebihi kemampuan.

Maka tak jarang memejamkan mata lebih nikmat dari semua kegiatan walaupun di hidangkan makanan selezat lezatnya, atau pemandangan seindah-indahnya, tapi kalau mata sudah kelelahan hingga mengantuk tak bisa di tahan maka mata akan terpejam.

Karena pada dasarnya, semua yang ada di pikiran yang tanpa beban, di tambah lagi rasa capek yang berkepanjangan maka dengan sendirinya rasa kelelahan yang menguras tenaganya akan membutuhkan istirahat yang total.

Riman Risangsang masih juga menimang -nimang tusuk rambut berwarna emas, berukir berbentuk bunga, di elusnya perlahan serasa terbayangkan mengelus tangan sang putri yang begitu indahnya.

Bau harum minyak kemiri masih mengisi sela-sela ukiran bunga, membuat Sang pengembara Riman risangsang bergairah menciumnya lama.

Tapi di balik dinding tinggi,mata bening memancar di balik penutup semacam cadar di tubuhnya yang ramping tersenyum penuh girang,

Lama sekali Riman risangsang mencium dan memeluk tusuk rambut berbentuk bunga berwarna emas, matanya terpejam seperti menikmati dan rasanya nikmat tiada tara.

Di alam bawah sadarnya, putri cantik jelita, serasa memeluknya, kulitnya halus laksana pualam, lembut dengan aroma harum di sekujur tubuhnya. bergelayut menempel penuh di tubuhnya tanpa ada pembatas sehelai rambutnya.

Desahan lembut mengurai malam, tanpa santun menerobos keras di kediaman yang sedang menikmati rasa dingin serta sepinya malam...

Riman Risangsang mengerang keras,  menikmati rasa indah tak terkira.
Si jelita Raden Ayu Asmara Tungga pun memekik tak kalah kerasnya,  badannya seperti terbang, me liuk -liuk di awan, badannya bergetar hebat merasakan kenikmatan yang luar biasa, kemudian melemah.

Keringat bening mengalir di seluruh tubuhnya, seperti biji kristal berkilau terkena sinar lampu, menambah pesona di tubuh yang sempurna di pandang mata.

Badan kekar Riman risangsang terasa lungkrah, tapi segar dan nikmat, terasa lebih ringan, enteng, dan nikmat nya sampai ke ubun-ubun.

Di tempat yg berbeda jauh, Si Jelita Raden Ayu Asmara Tungga, juga tengah menatap ukiran kayu jati, di tepi Ranjang Kebesaran Kerajaan, mata indahnya, sebentar terpejam, sebentar Berbinar-binar.
Senyum manis nya mengembang seperti Bunga merekah, menggiurkan.

Sang Pengembara Riman Risangsang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang