Bab 18

36 6 0
                                    

Disini di kertas yang buram ,wajah cantikmu berkumandang me-nari-nari di setiap tumpuan langkah ,menyobek-nyobek,mengikat keras di pucuk cintaku.

Wahai Bidadariku,Sampai kapan raga ini terpenjara,sampai kapan hati ini merana,akankah nafas cinta yang menggumpal akan tumpah ruah tak tertampung-kan,atau binasa oleh roh jahat para pendosa.

Sang matahari semakin surut ke bumi,dan waktupun berganti melipat hari yang sunyi,Riman risangsang mengucap lirih di hatinya yang semakin perih.

Di pacu kuda hitam-nya,menyelusuri jalan setapak,di kawasan tanah tak bertuan di wilayah Mulyorejo,mengarah ke sungai dukuh Bentayan,di jalanan banyak burung ayam-ayam saling berkokok,tanda musim berkembang,pejantan ayam hutan,memamerkan suara indahnya keras-keras,dan di ujung hutan yang jauh juga pejantan yang lain berkokok tak kalah indahnya,saling ber sautan.

Mereka mengadakan pertemuan antara burung ayam hutan,saling menghormati wilayah masing-masing,satu dengan yang lain tidak mau saling meng-ganggu,sang pejantan teriak keras,seperti berkumandang,si betina menyahut sambil berputar di pusaran rumput yang tumbuh di hamparan bawah pohon yang rindang.

Sang Pengembara Riman Risangsang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang