Hari-hari kami lewati dengan canda tawa, tak lupa juga dengan latihan. Deven semakin hari semakin dekat dengan ku, semakin memperhatikan ku, semakin menunjukkan rasa sayangnya pada ku. Hal itu tentu membuat ku merasa senang, mengingat aku telah menemukan sosok yang mampu memberikan efek kupu-kupu di dalam perut ku, mengingat aku telah menemukan seseorang yang mampu menjaga ku nantinya.
Minggu pagi ini, aku dan Deven kembali melakukan rutinitas kami dahulu, yaitu duduk di rooftop gedung ini berdua saja.
"Kita kenapa ya, suka banget duduk di sini?"tanya ku tiba-tiba. Entah mengapa aku bertanya hal itu, mungkin aku hanya ingin memecah keheningan di antara kita berdua.
"Nyaman ga sih? Udaranya nyaman, apalagi duduk sama kamu, aku nyaman banget."Balas Deven. Balasannya mampu membuat ku tersipu malu dan mencubit pelan perut lelaki itu.
"Aduh sakit, Neth."
Aku hanya meledek Deven dan tidak meminta maaf soal cubitan tersebut, namun Deven tak ambil hati. Kami biasa seperti itu, aku mencubitnya sudah suatu rutinitas yang harus aku lakukan setiap harinya.
"Balik ke bawah yu? Kayanya mau hujan deh."ajak Deven
"Iya nih mendung, yaudah ayo."
Kami berdua berjalan menuju lift dan menggunakan lift tersebut. Setibanya kami di lantai 4, lantai di mana kami biasa latihan, kami melewati toilet perempuan yang sedikit terbuka dan mendengar samar-samar perbincangan dari dalam sana.
"Deven sama Anneth makin hari makin deket, ya? Mereka bakal jadian ga sih nanti?"
"Ah kalau kata aku mah paling si Deven cuman ngebaperin doang. Lagian, emang orang tua mereka setuju kalau mereka pacaran? Kita kan masih kecil."
"Iya ya, Deven kayanya cuman baperin doang."
Percakapan mereka terdengar sampai telinga kami berdua. Namun, aku mengacuhkannya dan segera menarik Deven pergi dari sana. Kegiatan selanjutnya adalah latihan, sama seperti biasanya.
***
Hari Deven tampil akhirnya tiba. Kini giliran ku mengagumi kehebatan Deven dari karantina.
Singkat saja, Deven berhasil masuk ke babak selanjutnya bersama ku. Namun, Friden terpaksa menghentikan langkahnya hari ini. Ku lihat wajah Joa yang sedih ketika mengetahui Friden tidak lolos ke babak selanjutnya. Aku tak bisa berbuat banyak pada Joa, hanya berusaha sedikit menghiburnya agar tidak terlalu sedih akan kepergian Friden dari karantina.
Kembali dari tempat ia manggung, Deven langsung menghampiri ku dan berkata
"Neth."ucap Deven.
"Ya? Apa?"tanya ku.
"Aku cuman mau bilang, jangan nganggap aku cuman baperin kamu doang."ucap Deven.
"Akan ada saatnya aku buktikan kalau aku ga baperin kamu doang, nanti kamu akan tau."ucapnya lagi.
"Kenapa nanti?"tanyaku.
"Belum waktunya, Neth. Percaya sama aku, nanti kamu pasti akan jadi milik aku. "jawab nya.
Mendengar jawaban Deven membuat ku lagi-lagi tersipu malu. Aku percaya, aku percaya ucapan Deven, aku percaya bahwa diriku pasti akan menjadi miliknya suatu saat nanti.
****
Hari terus berganti, kita sudah kehilangan Friden, Lifia dan juga Joa. Kepulangan Joa sangat memberikan pukulan besar pada ku, bagaimanapun gadis itu adalah sahabat baik ku di sini. Aku tidak tau lagi harus berbincang mengenai Deven kepada siapa setelah Joa pergi.
Charisa dan Nashwa sudah sejak jauh-jauh hari pisah kamar, kami memang sudah lama tidur tidak lagi berempat melainkan berdua. Itu membuatku kesepian di kamar, karena aku sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First Love (TAMAT)
Fanfiction(Cerita ini tidak sesuai fakta, ada beberapa bagian yang sama dengan kehidupan nyata Anneth dan Deven namun tidak sama persis.) Ini adalah kisah cinta dua orang remaja yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Ajang pencarian bakat membuat ked...