"You are the salt of the earth. But remember that salt is useful when in association, but useless in isolation."
––Israelmore Ayivor
•••
Masih teringat jelas dibenaknya, saat itu usianya masih terbilang cukup muda, 17 tahun. Namun pemikirannya sudah jauh meninggalkan pemikiran teman-teman sebayanya.
Jika teman-teman sebayanya pada saat itu masih memikirkan bagaimana caranya meminta uang, menghabiskan uang, bersenang-senang tanpa memperdulikan masa depannya maka tidak dengan Alvian. Pada usia sekitar 17 tahun pemikirannya sudah jauh menyongsong masa depan. Tentang bagaimana dia menjalani hidup, tentang apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan apa yang dia mau, tentang bagaimana dia menghasilkan uang sendiri, sampai bagaimana nanti dia bisa mengembangkan apa yang dia miliki.
Memang pemikirannya saat itu terbilang cukup rumit untuk anak remaja sekitar 17 tahunan.
Namun pemikirannya tidak datang begitu saja hanya karena dia ingin. Tapi jauh dibalik itu semua rasa kurang percaya diri, sering di bandingkan bahkan tidak diinginkan oleh ibu kandung sendiri menjadi pemacunya untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi yang terbaik dari yang terbaik.
Rasa kecewa, kesepian, tidak diinginkan dan ketakutan yang tertanam kuat di dalam dirinya menjadi pendorong utama yang menjadikan dirinya ambisius.
"Masa nilai kamu cuma dapet segini? Ardan di usia kamu bisa dapet yang lebih tinggi.""Jangan buat bunda malu."
"Rapot kamu di ambil sama ayah kamu aja ah, bunda malu ngambilnya."
"Makanya kamu jangan kebanyakan main, kakak kamu aja gak banyak main."
Dan masih banyak lagi kata-kata yang membuatnya merasa tidak berguna dikala usianya masih menginjak angka 7 tahun.
Namun lepas dari bunda yang tidak pernah menganggap dirinya baik itu pun selalu ada tangan ayah yang mampu merengkuhnya. Membuatnya merasa menjadi manusia yang diinginkan dan dicintai terlepas dari dia bukan ayah kandungnya sendiri.
"Gak apa-apa ya, sama papa aja. Nanti pulangnya kita ke fun world. Main tembak-tembakan sama mobil-mobilan. Atau kamu mau ke dufan?"
Namun Alvian tetap lah Alvian. Dia hanya akan menggeleng, mengangguk atau hanya menggumamkan kata iya dan tidak dikala ditanya.
"Sini mana liat wajahnya?" Ujar ayah yang masih Alvian ingat ketika mendung mulai menguasai wajahnya.
"Senyum sini, ayo belajar senyum biar kamu tambah manis kaya gulali. Nanti kalo kamu manis pasti banyak yang suka. Papa yakin kalo kamu udah gede bakal banyak yang mau sama kamu. Tapi kamu harus cari yang terbaik ya?"
Lagi-lagi ia hanya mengangguk lalu mulai memaksakan menarik sudut bibirnya ke atas untuk membentuk sebuah senyuman kelewat tipis yang langsung mendatangkan rona bahagia di wajah sang ayah.
"Pinter, nah gitu dong."
Setidaknya ia berpikir bahwa ketika dunia tidak membutuhkannya maka dia masih memiliki ayah yang selalu menerimanya dengan tangan terbuka. Masih ada kakak yang memarahinya jika dia melakukan kesalahan lalu setelahnya mengusap kepalanya sambil menggumamkan kata maaf dan selalu ada adik yang merengek memegangi kakinya sambil menggumamkan bahasa yang tidak dia ketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANILLA | WENGA
General FictionSelesai✔ Ini kisah tentang Alvian yang berusaha kembali setelah meninggalkan. Dan Danila yang mencoba berdamai dengan hatinya meskipun pernah di tinggalkan. storyline&cover by sillyouu_ -juni2018