extra 3.5 : Senja, kaca, jendela.

4.9K 362 54
                                    

Ini tentang kisahku bersama secangkir kopi di sore hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ini tentang kisahku bersama secangkir kopi di sore hari. Dengan diiringi  musik beserta satu kamera yang kerap kali ku bawa.

Mungkin sederhana.

Hanya perkara duduk di paling pojok kursi. Diantara jendela besar yang menampilkan senja sore hari. Dengan meja berhias tanaman kecil yang selalu terlihat hijau.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya.

Mengapa kursi di pojok ruangan ini ketika sore selalu di isi oleh satu pemuda yang sama.

Mungkin ada pula yang tidak peduli dan membiarkan begitu saja.

Lantas ketika ada yang bertanya maka akan aku jawab.

Karena bagi pemuda itu kursi di pojok ruangan ini serupa surga tersembunyi yang sengaja tuhan kirimkan untuknya.

Mungkin terdengar berlebihan. Namun nyatanya memang seperti itu.

Karena dari pojok ruangan ini aku sebagai pemuda itu bisa melihat gadis itu secara jelas. Sejelas matahari yang menyorot masuk melalui kaca jendela di belakangku; Sejelas lagu Fiersa Besari yang terdengar merdu dan sejelas aroma kopi yang terbawa angin hingga masuk ke penciumanku.

Lalu aku akan mengeluarkan kameraku dan mengarahkan lensa kameranya pada satu sosok di depan sana. Tidak lama, hanya sepuluh detik hingga aku berhasil mendapat satu potret seseorang yang terlihat ethreal di sinari matahari sore hari.

Ketika melihat hasil jepretanku barusan aku selalu dibuat kagum.

Bahkan saking kagumnya aku selalu berpikir apakah dia manusia atau bukan? Karena entah kenapa rasanya dia terlalu sempurna untuk aku sebut sebagai manusia.

Mungkin jika dulu dia mengaku sebagai bidadari jatuh dari surga pun aku akan percaya.

Halah. Dasar Adrian. Bacot!

"Mas, baristanya cantik ya?"

Aku menoleh, mendapati anak muda seusia Pandrayuga Dirgantara atau lebih tua dari dia sedang menatap kagum pada seseorang yang kini sedang berdiri di balik mesin kopi.

"Iya, cantik." Pujiku saat itu.

"Mirip sama selebgram yang dulu terkenal itu ya Mas. Cuma beda style aja. Kalau barista itu kelihatannya lebih sederhana dan polos. Kalau selebgram yang dulu sempat heboh kelihatannya lebih glamour dan elegan. Kalau kata temen-temenku dulu di sebutnya si manusia gucci berjalan."

Aku tertawa, canggung rasanya. Terlebih ketika membicarakan orang yang memang kita kenal. "Hahaha.. Iya Dek,"

"Eh, kayanya Mas cocok deh sama Mba itu. Coba pepet gih, siapa tahu dapet. Masnya kan ganteng. Si Mba itu pasti mau."

Lalu aku hanya menunduk. Tersenyum simpul sambil menikmati kopi yang rasanya tidak pernah berubah. Pahit. Meskipun sudah ditambah susu dan pemanis lainnya.

DANILLA | WENGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang