3. Monologue

360 79 31
                                    

Pagi menyingsing, menyingkirkan malam dengan kelelahannya. Ayam baru berkokok beberapa menit yang lalu.

Banyak pekerja pinggiran seperti pemulung serta penyapu jalanan sudah berjibaku dengan pekerjaannya.

Tidak berbeda dengan lelaki 30 tahun bertubuh kurus itu. Lelaki itu bernama Marjo. Seorang pemulung yang setiap harinya membawa karung berukuran besar di tangan kirinya.

Tiap hari, ia selalu mengais-ngais tumpukan sampah untuk mendapat sepeser saja rupiah.

Penghasilannya tak menentu. Kadang sepuluh ribu, bahkan, saat keberuntungan tidak berpihak, Marjo hanya akan membawa pulang selembar uang 5 ribuan.

Hidup di kota besar semacam Jakarta memang bukan hal yang mudah. Itu yang Marjo tekankan setiap harinya. Tak pernah sedikit pun ia mengeluh dengan keadaan. Baginya, berjuang itu kebutuhan.

Marjo sendiri, tinggal di sebuah pemukiman kumuh di bantaran kali bersama dengan istrinya. Tanpa seorang anak pun.

"Hei, Marjo! Sudah makankah, kau?" tanya pemulung lain dengan logat khas Batak.

"Mau makan apa memang? Belum ada makanan di rumah," jawab Marjo.

"Ya sudah, lah. Sama aku kalau macam itu," ujar lelaki itu sambil terkekeh.

Marjo hanya tersenyum maklum dengan tingkah teman seperjuangannya itu. Sama sepertinya, lelaki itu tak pernah menganggap bahwa hidup itu beban. Senang, syukuri. Susah, harus lebih disyukuri. Begitu prinsipnya.

Marjo mulai mengais-ngais tumpukan sampah di sana. Kadang kardus bekas, tidak jarang pula botol kemasan minuman yang telah kosong isinya. Ia memasukkan setiap sampah berharga itu ke dalam karung yang dibawanya.

Ketika mentari telah meninggi, ia beserta pemulung lain bergegas menyetorkan hasil pulungannya ke pengepul. Tempat itu tentu saja dikelilingi sampah. Bedanya, sampah yang ada di sana adalah yang dapat didaur ulang.

Ketika karung miliknya telah ditimbang, hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Hanya selembar 5 ribuan dan selembar 2 ribuan.

"Alhamdulillah ... masih dapat segini hari ini," syukurnya.

"Marjo ... marilah kita balik. Udah siang ini," ajak lelaki yang berbincang dengannya tadi.

Marjo hanya mengangguk dan pergi dari sana.

Sampai di rumah kecilnya, Marjo disambut hangat oleh Mirna, istrinya.

"Sudah pulang, Mas?" tanya Mirna bermaksud berbasa-basi.

"Belum, ini cuma bayangannya," balasnya setengah bercanda.

Mirna terkekeh pelan.

"Ini penghasilanku hari ini. Dicukupkan ya, Mir?" pinta Marjo dengan halus.

Mirna tersenyum maklum. "Biasanya, kan, juga gitu, Mas. Cukup, kok, Insha Allah."

"Sebagian besar para pejabat sekarang cuma bisa berkoar-koar, ya, Mir? Banyakin janji, tapi sedikit aksi. Bilangnya ekonomi merata, tapi nyatanya, ya, sama saja. Kaum-kaum seperti kita ini yang akhirnya kena imbas," kata Marjo sambil menggelengkan kepalanya.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang