Hari berlalu dengan cepat. Sasa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan peka akan sekeliling. Didikan Marjo dan Mirna yang sarat akan niai-nilai agama juga berpengaruh besar pada perkembangan spiritual gadis kecil itu. Ia bahkan menjadi anak yang pandai bergaul dengan lingkungannya.
Seperti hari ini. Sasa dan Ilham yang semakin akrab sudah sibuk dengan kertas gambar masing-masing di rumah anak laki-laki itu. Mereka berdua ditemani Ilalang, perempuan yang dibawa Minah pulang sebulan lalu.
Sasa dan Ilham senang dengan kehadiran perempuan itu. Selain bisa menemani mereka menggambar, Ila juga sering mengajarkan banyak hal pada dua anak itu. Mulai dari menulis, berhitung, dan pelajaran lainnya yang biasa didapat di sekolah formal. Tak jarang pula anak-anak yang lain ikut belajar bersama. Kehadiran Ila bagi mereka sudah seperti oase di tengah gurun pasir.
“Kak Ila, ini bagusnya pakai warna apa?” tanya Sasa sambil menunjuk gambar lumba-lumba miliknya.
“Abu-abu,” jawab Ila lembut.
“Nggak, ah. Sasa mau pake warna kuning biar lucu,” tolaknya membuat Ila terkekeh.
Mereka kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Ila memperhatikan kedua anak itu dengan seksama. Hatinya menghangat. Bagaimana mungkin ia pernah berpikir menghilangkan janin yang ada di perutnya? Sementara suatu saat ... janin itu bia tumbuh menjadi anak semanis Sasa dan Ilham.“Sasa, diem dulu, deh,” pinta Ilham.
Sasa menurutinya dan Ilham mulai meraba wajah gadis kecil itu. Ila dibuat heran dengan tingkah Ilham yang menurutnya tidak biasa.“Kenapa wajah Sasa disentuh seperti itu, Ham?” tanya Ila pada akhirnya.
“Aku mau gambar wajah Sasa, Kak Ila.”
Sasa melebarkan senyumnya.
“Ilham beneran mau gambar wajah Sasa?” tanya Sasa.Anak itu hanya mengangguk dan mulai menggoreskan ujung pensilnya ke atas kertas gambar. Beberapa kali Ilham melakukan hal yang sama. Meraba wajah Sasa, lalu menggambarkannya sesuai perabaan dan imajinasinya.
Tiga puluh menit berlalu dan gambaran anak lelaki itu pun jadi. Ila dibuat takjub. Meskipun belum sempurna, goresan pensil itu ... indah. Hampir mirip aslinya.
Sasa masih mengagumi gambar wajahnya dengan mata berbinar.
“Ini bagus sekali, Ham,” puji Ilalang.
“Mirip aslinya,” lanjutnya.
“Ini beneran muka Sasa? Kok cantik?” Sasa terkekeh.
Mau tak mau Ila dan Ilham ikut terkekeh.
“Gambar Ilham beneran mirip Sasa, Kak?” tanya anak lelaki itu.
“Iya, Ham. Kamu berbakat gambar. Kakak yakin, suatu saat nanti, kamu akan menjadi pelukis hebat.”
“Aamiin. Ilham mau jadi pelukis hebat.”
🍁🍁🍁
“Hil, sudah kerjain PR?” tanya Rafdi pada keponakannya malam itu.
Hilya hanya mengangguk singkat tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Tiada ekspresi apa pun di wajah ayunya.
“Oh iya, besok Abang mau ke rumah Mbok Minah. Mau ngobrol sama Ila. Kebetulan bengkel libur. Kamu mau ikut? Kita bisa ke sana setelah kamu pulang sekolah.”
Hilya melirik Rafdi dengan sinis. “Ngapain ngobrol sama Mbak Ila? Abang suka?”
Rafdi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah hafal dengan perangai Hilya yang ketus dalam berbicara. Tapi jauh di dalam hati gadis itu, tersimpan kepedulian yang sangat besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foregone
General FictionGeneral Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini juga tentang tiga lelaki dengan ambisinya masing-masing dalam menjadikan perempuan itu pendamping h...