9. A Story and a Pride

190 48 15
                                    

"Loh ... siapa itu, Mir? Kok aku baru lihat."

Tadi itu suara Mbok Minah yang baru pulang berjualan gorengan. Perempuan 65 tahun itu biasa menitipkan gorengan dagangannya ke warung-warung di sekitar sana.

Niat awalnya yang langsung pulang, terhenti saat melihat gadis cantik yang sedang disisiri Mirna di depan rumah gubuknya.

"Eh ... Mbok Minah. Baru pulang, Mbok?" Mirna menghentikan aktivitasnya sementara Minah hanya mengangguk sembari tersenyum singkat.

"Duduk dulu, Mbok." Minah ikut duduk di bangku panjang yang beberapa bagiannya sudah termakan rayap itu.

"Kenalin, Mbok. Ini namanya Sasa. Kemarin Mas Marjo ketemu dia di jalan. Dia ketakutan. Sepertinya terpisah dari keluarganya," jelas Mirna.

"Owalah ... ndak dicoba nyari orang tuanya, Mir? Kasian. Pasti nyariin." Minah mencoba mengelus kepala Sasa namun gadis itu seperti ketakutan.

Mirna menatap Sasa penuh kasih. "Sasa jangan takut. Ini Mbok Minah, orangnya baik."

Sasa hanya mengerjapkan matanya polos dan kembali melihat Minah yang sedang tersenyum ramah.

"Maunya begitu, Mbok. Tapi dari kemarin, Sasa cuma nyebutin namanya. Waktu Mas Marjo nanya alamat, dia cuma menggeleng, nggak mau bicara."

Minah melihat Sasa prihatin namun juga kagum. Gadis kecil itu sangat cantik. Ditambah dengan bulu mata yang lentik dan rambut panjang bergelombangnya, Sasa sudah seperti boneka hidup.

"Kapan-kapan, mau Mbok kenalin ke Ilham? Sepertinya kalian seumuran. Nanti, Sasa bisa main sama dia," ujar Minah halus.

Sasa mengangguk bersemangat. "Main?"

"Iya, nanti kalian bisa main bersama. Dengan teman-teman yang lain juga. Sasa akan punya banyak teman."

Minah dan Mirna tersenyum lebar melihat keantusiasan gadis kecil itu.
Tiba-tiba, Sasa kembali murung seperti kemarin.

"Loh, Sasa kenapa? Bukannya seneng mau ketemu teman-teman?" tanya Mirna hati-hati.

"Mama, Papa. Sasa kangen." Mirna tertegun.

"Sasa inget di mana rumah Sasa?" tanya Minah.

Sasa hanya menggeleng dengan ekspresi sedihnya. "Mereka udah mati."

Minah dan Mirna membelalakkan matanya sambil berpandangan satu sama lain.

"Sasa lari dari rumah. Banyak om-om jahat. Katanya, Sasa mau dijual."

Lagi-lagi kedua perempuan dewasa itu diam tanpa suara.

Sasa tidak menangis, sama sekali. Hanya ekspresi kosong dan sedih yang diperlihatkannya.

"Mereka bunuh Mama sama Papa. Banyak darah di rumah Sasa," lanjutnya dengan pandangan menatap lurus ke depan.

Minah terenyuh di tempatnya. Ia sudah berkaca-kaca. Bagaimana mungkin anak sekecil ini mengalami hal seperti itu?

"Sasa lihat semuanya. Mama udah nggak mau buka matanya. Papa kesakitan sama megangin perutnya. Sasa diam aja. Sasa takut, terus lari."

Cukup sudah. Mirna dan Minah menutup mulut masing-masing agar tak terdengar suara isakan. Mereka menangis. Sementara Sasa? Ia hanya diam dengan tatapan kosong.

Sesaat kemudian, Sasa mulai mengayunkan kakinya. Kaki-kaki mungil yang tak bisa menapak tanah dari posisi duduknya itu, mengayun pelan. "Sasa kuat. Sasa nggak mau nangis."

Kedua perempuan itu semakin tergugu di tempatnya.

🍁🍁🍁

"Mau pesen apa, Aar?" tanya Raka.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang