10. An Orphanage

182 41 7
                                    

Ah ... weekend. Sesuatu yang paling ditunggu-tunggu hampir seluruh orang. Tentu saja Aaru tidak termasuk orang-orang itu. Baginya, setiap hari sama saja. Tak ada yang istimewa.

Perempuan itu sudah rapi sejak tiga menit yang lalu. Waktu sendiri, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Memang, seharusnya ia tengah berkutat dengan mesin peracik kopi, namun entahlah. Ia batal melakukan aktivitas hariannya tersebut.

Semalam, ia mendapati seorang tamu tak diundang yang entah tahu dari mana alamat rumahnya. Hasil menguntit mungkin. Namun Aaru tetaplah Aaru yang tak akan ambil pusing.

Kalingga Nareswara. Lelaki itu yang semalam datang ke rumahnya. Alih-alih mengajak Aaru malam mingguan, lelaki itu justru ingin mengajak Aaru ke suatu tempat pagi ini.

Awalnya ... Aaru menolak namun mendengar tujuan lelaki itu, ia mendadak antusias. Tentu saja tak kentara.

“Sudah siap, Aar?” tanya Lingga saat menemukan Aaru membuka pintu untuknya.

Perempuan itu mengangguk. Lingga berani bertaruh bahwa rencananya mendekati Aaru tak akan gagal.
Mereka langsung melesat menggunakan mobil Lingga. Tak banyak percakapan.

“Sebenarnya lumayan heran waktu kamu menerima ajakanku. Jadi, apa alasanmu, Nona?” tanya Lingga.

“Kepedulian sosial,” jawab Aaru singkat membuat Lingga terkekeh.

“Baiklah, sekarang aku tau bagaimana cara mengajakmu kencan.”

Aaru melirik laki-laki yang tengah menyetir itu sekilas lantas berkata, “hanya mengunjungi panti asuhan, tidak lebih.”

Aaru kembali fokus ke depan.

“Baiklah, Nona. Apa katamu saja,” balas Lingga dengan nada mengejek.

Aaru bukanlah orang yang kepo dengan urusan orang lain, hanya saja ... ia tertarik dengan sesuatu yang berada di dasbor mobil lelaki itu.
Sebuah album foto usang. Tanpa izin, ia membuka lembarnya satu-persatu.

Banyak foto anak kecil di sana. Tengah tertawa, menangis, hingga sebuah perayaan ulang tahun.

“Ternyata ... rasa penasaranmu tinggi juga, Aaru.”

Tak ada respon dari perempuan di sampingnya.

“Siapa mereka?” tanya Aaru tak berapa lama.

Masih fokus dengan jalanan, Lingga menjawab, “anak-anak panti. Sebagian dari mereka, sudah dewasa. Sebagian lagi ... kau bisa menemuinya di sana nanti.”

Sejenak Aaru tertegun dan kembali membolak-balikkan setiap halaman.

“Kasihan mereka. Masih kecil, tapi harus mengalami hal seberat itu. Bahkan, kebanyakan tidak tau rupa orang tuanya.” Lingga tersenyum miris.

“Kenapa harus kasihan? Mereka tidak suka dikasihani,” balas Aaru dengan tenang. Matanya masih sibuk mengamati foto-foto yang ada di sana.

“Mereka kuat dengan cara masing-masing. Lebih tepatnya ... saling menguatkan. Mereka benci dikasihani, saya pikir begitu,” lanjutnya.

“Mereka spesial karena mereka akan lebih siap menjalani hidup ketimbang anak yang dari kecil dalam bayang-bayang orangtuanya. Meskipun tidak semua.”

Lingga tersenyum tipis sambil melirik Aaru yang membuka halaman terakhir. Foto terakhir yang dilihatnya cukup buram dan kelihatannya, sudah lama disimpan. Berbeda dengan foto lain yang nampak baru diambil.

Halaman terakhir itu dibuka Aaru, tepat saat mereka berada di halaman sebuah panti asuhan. Sebelum sama-sama turun, Lingga mencekal pergelangan tangan Aaru.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang