Ah ... sudah cukup lama Aaru tak mengunjungi tempat itu. Panti asuhan. Setelah pulang dari kedai sore tadi, Aaru menyempatkan diri ke sana. Ia ingin sedikit berbincang dengan anak-anak. Cukup lelah sebenarnya, namun tak apa. Sebelum bertemu dengan Rendra besok, Aaru sudah harus berhasil menenangkan diri. Salah satu caranya adalah lewat tawa anak-anak tak bersalah itu.
“Kakak cantik. Kok Aa’ Lingga nggak diajak lagi? Kan Imel pengen ketemu,” beo anak itu.
Aaru hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Imel.
“Aa’ Lingga, kan, baru datang kemarin. Masa datang lagi? Kasihan nanti, capek.” Yang menjawab bukan Aaru melainkan Ratih.
“Tapi, kan, Imel udah kangen sama A’ Lingga, Bunda.”
Ratih mengelus pelan kepala Imel. “Nanti biar Bunda telpon A’ Lingga, ya.”
Anak kecil itu berjingkrak senang.
“Kamu sama temen-temen dulu. Bunda mau ngobrol sama Kak Aaru.”
Imel menuruti ucapan perempuan paruh baya itu. Aaru sendiri memicingkan mata heran. Tak biasanya, pikirnya.
“Nak, maaf sebelumnya. Ibu tidak bisa kalau tidak bicara dengan kamu. Ibu kepikiran setiap hari.”
Aaru hanya diam. Ia menunggu apa yang sebenarnya akan perempuan itu sampaikan padanya.
“Ibu tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Lingga tempo hari. Sebenarnya Ibu sudah menduga bahwa Lingga menyimpan rasa untuk kamu dan Ibu pikir kamu pun sama. Tapi ternyata tidak.”
Aaru mengerti sekarang.
“Belum pernah Lingga mengenalkan seorang perempuan pada Ibu sebelumnya. Hanya kamu dan saya punya harapan besar pada kamu. Tapi mendengar penolakan kamu pada Lingga, saya kecewa jujur saja.”
“Lantas?” Aaru mulai bersuara.
“Boleh saya tau kenapa kamu menolak anak saya? Masa lalu Lingga memang kelam, Aaru. Tapi saya yakin, dia bisa membahagiakan kamu.”
“Saya tidak pernah mempermasalahkan masa lalu seseorang. Saya tidak sepicik itu, Bu. Perihal alasan saya menolak Lingga, saya rasa itu hak saya. Ibu atau orang lain tidak berhak tau. Satu hal yang perlu Ibu tau, Lingga tidak akan pernah cocok dengan saya,” tukas Aaru datar.
“Tapi kenapa, Aaru?” Ratih tetap kukuh pada rasa penasarannya. “Lingga anak yang baik. Sudah cukup ia menderita selama ini, Nak. Ibu hanya ingin melihat dia bahagia bersama kamu. Jika kamu menolak Lingga karena tidak suka, Ibu yakin, suatu saat rasa itu akan muncul dengan sendirinya.”
Aaru sungguh benci situasi ini.
“Saya tidak suka diintimidasi dan tidak akan bisa. Saya tau Lingga orang baik, tapi tidak cukup baik untuk saya. Lingga sudah cukup menderita, benar. Tapi di dunia ini bukan cuma Kalingga yang menderita. Dan jika Ibu bilang bahwa dia akan bahagia bila hidup bersama saya, Ibu salah besar. Justru Lingga akan semakin menderita.”Aaru beranjak dari kursinya. Ia berdiri membelakangi perempuan itu.
“Maaf jika saya lancang, tapi Ibu hanya tau seberapa menderitanya Lingga dan apa pun tentang Lingga, bukan saya. Dunia, bukan hanya berporos pada lelaki itu, Bu. Saya pamit.”
Aaru benar-benar pergi meninggalkan panti. Hancur sudah ekspektasinya mendapat tambahan ketenangan. Ia malah mengalami hal serupa saat bertemu dengan Vania.
🍁🍁🍁
Pagi menjelang. Jam dinding di kamar Aaru sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Perempuan itu sendiri sudah siap dengan pakaian serba hitamnya. Jeans hitam, kemeja hitam kebesaran lengan panjang yang lengannya digulung sampai siku, juga boots hitam. Tak lupa jam tangan yang bertengger manis di tangan kanannya. Dengan gaya rambut dicepol rapi seperti biasa, membuat Aaru tampak misterius hari ini, meski ia memang misterius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foregone
General FictionGeneral Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini juga tentang tiga lelaki dengan ambisinya masing-masing dalam menjadikan perempuan itu pendamping h...