6. Have a Lunch

260 58 28
                                    

Tok-tok-tok!

“Masuk!” ucap Aaru dari dalam ruangannya.

Meli melongokkan kepala ke dalam ruangan Aaru. Setelah mendapat tanda silakan masuk dari pemilik ruangan, Meli menghampiri perempuan itu.

“Ada yang mau ketemu sama Mbak Aaru. Katanya, sudah ada janji sebelumnya,” ucap Meli to the point.

Aaru menghela napas, menyiapkan mental juga ketenangannya. Ia tahu siapa yang dimaksud Meli. Siapa lagi kalau bukan Caraka?

“Silakan masuk, Mas. Mbak Aaru sudah menunggu,” ucap Meli pada Raka setelah keluar dari ruangan Aaru.

Raka hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Ia menatap Aaru dengan mata berbinar.

“Siang, Aar. Pertemuan kedua kita untuk hari ini.” Raka duduk di kursi seberang Aaru.

Aaru menarik laci mejanya dan menyerahkan sebuah dompet hitam kepada Raka tanpa berbicara. Ekspresinya tenang seperti biasa.

“Kalau begini caranya, lebih baik, besok aku meninggalkan dompet lagi. Iya, kan, Aar?” Raka menaik turunkan sebelah alisnya.

Aaru hanya menanggapi ucapan Raka dengan kata terserah. Raka terlihat seperti orang berpikir. Jari telunjuknya diketuk-ketukkan ke dagu. Aaru menatapnya dengan alis tertaut.

“Bagaimana jika sebagai tanda terima kasihku, aku traktir makan siang?” tawar Raka.

“Saya tidak merasa diuntungkan dengan penawaran Anda, Tuan,” jawab Aaru datar.

Raka berdecak sambil memajukan bibirnya cemberut. Ia melirik ke arah meja Aaru di depannya. Ada ponsel perempuan itu di sana. Raka mendapatkan ide.

Tanpa aba-aba, Raka mengambil ponsel Aaru dengan cepat. Aaru membelalakkan matanya.

“Baiklah, tidak apa-apa. Sebagai gantinya, aku akan membawa ponselmu bersamaku,” ucap Raka dengan nada lembut. Ada sedikit ancaman di sana.

Aaru menggeram, mencoba menahan emosinya. “Kembalikan ponselku, Caraka,” tekannya.

Raka bersorak. Bukan karena ia berhasil memancing kemarahan perempuan itu, melainkan karena Aaru memanggilnya tanpa embel-embel Tuan yang biasa ia gunakan.

“Aku akan mengembalikannya, tapi setelah kamu mau makan siang bersamaku. Bagaimana?” Raka memundurkan kursi yang didudukinya lalu mulai memutar ponsel Aaru di antara ibu jari dan jari telunjuk.

Fine, aku akan menurutimu, tapi tolong, kembalikan ponsel itu sekarang,” tutur Aaru.

“Kamu tidak suka berbohong, bukan?” Raka menegaskan.

“Sekali berbohong, harga diriku akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Itu prinsipku.” Raka mengangguk lalu menyerahkan kembali ponsel itu kepada empunya.

Raka berdiri lantas mengulurkan tangannya pada Aaru dan mengatakan ayo. Aaru tidak menyambut tangan Raka, melainkan berjalan mendahului laki-laki itu. Di belakang Aaru, Raka tersenyum menang.

Mereka berdua mengendarai motor besar Raka. Tujuan mereka kali ini adalah sebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari kedai Aaru. Tentu saja itu akal-akalan Raka.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang