29. The Remaining

160 36 8
                                    

Keesokan harinya, Aaru memutuskan mengajak Ergi ke Jakarta. Ke tempat di mana pemukiman itu berada. Tempat mereka pernah berbagi luka dan tawa. Mereka sampai di sana pukul 10.00 pagi.

Aaru memarkirkan mobilnya di depan salah satu ruko yang sepertinya memang tidak digunakan karena terdapat iklan yang mengatakan bahwa bangunan itu dijual.

“Dulu, di sini bengkel, ya, Sa. Tempat Kak Rafdi kerja.” Ergi mulai bernostalgia.

Aaru mengingat semuanya dengan jelas. Ia ingat bahwa ia pernah bermain bersama Ilham di bengkel itu. Memainkan miniatur motor yang dibuatkan Rafdi dari korek api bekas. Ia ingat di samping bengkel juga ada warung tempat Mbok Minah biasa menitipkan dagangannya.

“Ayo,” ajak Aaru.

Mereka mulai menyusuri jalanan menuju tempat tinggal mereka dulu. Mereka berjalan hati-hati sembari mengingat momen apa saja yang ada di sepanjang jalan itu.

“Dulu ini lapangan. Tempat biasa kita main kelereng sama Kak Farhan dan Kak Laras. Kadang, kita main setelah subuh. Tapi lebih sering sore hari,” ujar Aaru. Telunjuknya menunjuk sudut lapangan. “Di sana kita biasanya main kelereng. Dulu ada pohon cukup rindang.”

Ergi mengangguk paham. Lelaki itu tentu saja tak begitu hafal dengan tempat itu dikarenakan keadaannya yang dulu buta.

Mereka kembali berjalan. Lahan yang dulunya pemukiman padat itu sudah berubah menjadi lahan kosong. Sepertinya pemerintah akan membangun sarana umum di sana. Entah apa.

“Tanah tempat kita berpijak ini, dulunya rumahku. Rumah Ayah Marjo dan Ibu Mirna. Sayang, tidak ada apa-apa yang tersisa.” Aaru menjeda langkahnya diikuti Ergi.

Pandangan dua orang itu menerawang.

“Ayo, lanjut,” ajak Ergi diangguki oleh Aaru.

Tak berselang lama, mereka kembali berhenti. Aaru tersenyum tipis membuat Ergi mengernyitkan dahi.

“Sekarang apa lagi?”

“Tepat beberapa langkah di depan kita adalah rumah Mbok Minah, rumahmu, Ilham. Tempat pertama kali kamu menggambar wajahku. Tempat kita belajar bersama Kak Ila, Hilya, Koko, Kak Rafdi juga.”

Ergi menatap arah pandang Aaru dengan nanar. Ia ingat semuanya. Benar, di sana pertama kali ia mengenal Aaru, menggambar wajah Aaru. Ia masih ingat waktu Aaru bertanya warna yang cocok untuk gambar lumba-lumbanya pada Ilalang. Ia masih ingat waktu Aaru memuji warna mata madunya waktu itu.

“Ada tempat lain lagi, nggak, Sa?”

“Terlalu banyak, Ham. Semua tempat memiliki momennya sendiri. Yang paling berkesan, aku rasa yang tadi aku tunjukkan.”

Ergi mengangguk. “Dulu tempat ini ramai, sekarang nggak ada apa-apa. Andai temen-temen kita masih pada hidup, Sa. Kayak kasus lo. Keberuntungan. Gue pengen ketemu mereka. Paling nggak, sekali aja. Gue cuma mau tau gimana rupa mereka.”

Aaru hanya bisa menghela napas panjang.

“Sayangnya, tidak ada yang tersisa. Aku sudah mencari kemungkinan-kemungkinannya, tapi nihil. Mereka memang sudah meninggal.”

Ergi hanya membisu. Ia tak tahu harus bicara apa.

“Ham, bagaimana bisa kamu masih menyimpan sketsa wajahku?”

“Gue selalu bawa itu ke mana-mana. Nggak pernah gue tinggal. Bahkan selalu gue lipet kecil-kecil dan gue taruh di saku celana. Makanya sampe selecek itu. Tapi ternyata itu berguna, kan, Sa? Justru kertas itu yang bikin gue ketemu sama lo. Coba kalo nggak ada kertas itu, gue cuma bakal tau kalo lo itu Aarunya. Bukan Sasa.”

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang