4. Damn

374 71 22
                                    

Rabu pagi yang cerah bagi Caraka. Setelah membuka mata, ia mendengar kicauan burung gereja dari dalam selimutnya. Jangan tanyakan dari mana asal kicauan burung tersebut. Tentu saja dari imajinasinya sendiri.

Hidup di tengah perkotaan yang padat, mustahil telinganya dapat mendengar suara semacam itu. Paling untung, Raka hanya akan melihat gedung-gedung tinggi setelah membuka jendela apartemennya.

Ia beranjak dari posisi berbaring dan duduk di tepi ranjang berukuran king size itu. Senyum lebar terbingkai sempurna di bibirnya. Bayangan Aaru segera menyerang benak, membuat senyum itu semakin lebar.

“Aarunya, sinar pertama mentari. Nama yang sesuai dengan orangnya,” gumam Raka.

Raka mengambil ponsel ber-case hitam di atas nakas. Ia berniat menghubungi Aaru. Sebelum sempat menggeser lock screen, ia teringat sesuatu.

“Astaga, sejak kapan aku punya nomor ponsel Aaru!” Raka menepuk pelan jidatnya.

Ia mendesis, “Ternyata jatuh cinta membuatku sebodoh ini.”

Raka memutuskan meletakkan kembali ponselnya dan bergegas menuju kamar mandi.

Beberapa saat berkutat dengan air, Raka keluar dari sana hanya dengan mengenakan handuk yang dililitkan sebatas pinggang. Tubuh ideal bagian atasnya terekspos sempurna. Rambut hitam lelaki 25 tahun itu masih meninggalkan jejak-jejak air di ujungnya.

Raka berjalan menyongsong sebuah lemari pakaian yang cukup besar. Ia mengambil beberapa potong pakaian dari sana.

Lekaki itu kembali ke dalam kamar mandi dan keluar dengan tampilan berbeda. Raka sudah mengenakan sebuah kemeja lengan panjang berwarna biru dongker dan celana bahan hitam. Rambutnya hanya disisir seadanya, bahkan masih terlihat berantakan.

Sebelum keluar dari kamarnya, Raka mengambil ponsel di atas nakas.

Raka tak langsung pergi dari unitnya, melainkan menuju dapur dan membuka kulkas. Ia mengambil sekaleng bir dari sana. Laki-laki itu membuka tutupnya lalu menandaskan isinya.

Sudah menjadi rutinitas setiap pagi semenjak tinggal di apartemen. Raka tak pernah sekali pun membuat yang namanya sarapan. Hanya sekaleng bir.

Setelah mengambil kunci motor di meja ruang tamu, Raka bergegas menuju basement untuk mengambil motor besarnya. Ia melesat membelah jalanan kota yang belum terlalu padat pagi itu.

🍁🍁🍁


Aaru keluar dari rumah minimalis miliknya dengan perasaan biasa saja. Sama seperti sebelumnya, tidak ada ekspresi apa pun di wajah cantik itu.

Ia juga berpenampilan monoton, tidak ada perubahan. Kemeja lengan panjang, celana jeans, dan sepatu boots warna hitam. Lagi-lagi juga, rambutnya dicepol rapi, hingga tidak terlihat sama sekali warna hijau di sana.

Belum sempat kakinya menginjak lantai batako halaman rumah, sebuah mobil Avanza putih berhenti di teras garasinya. Seorang lelaki keluar dari pintu samping jok kemudi. Lelaki itu mengenakan setelan kantor lengkap, padahal, jam di pergelangan tangan Aaru baru menunjukkan pukul 6 pagi.

Lelaki itu menghampiri Aaru dengan langkah tegap. Tanpa disadari lelaki itu, Aaru mengembuskan napasnya pelan.

“Pagi, Mas,” sapa Aaru datar.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang