Andra menepuk pelan bahu lelaki di depannya. Sebelum itu, ia sudah terlebih dulu melirik jam dinding yang tergantung di tembok belakangnya.
“Raka!” panggilnya.
Raka memutar kursi, menghadap Andra. Lelaki itu memasang senyum cerah.
“Jangan bilang, kamu beneran gila, Ka?” Andra bergidik sambil duduk di kursi kosong depan Raka.
Raka melempar sebuah pena ke kepala sohibnya itu hingga terdengar suara mengaduh.
“Lagi jatuh cinta ini, Dra! Mending kamu diem, deh,” ketus Raka.
Andra mencibir atas kelakuan Raka. “Terserah kamu, lah.”
“Oh iya, Ka. Berkas yang tadi aku serahkan sudah kamu cek, belum? Jangan karena lagi jatuh cinta, kamu jadi mangkir dari tanggung jawab.”
Raka menatap Andra dengan sinis. Ia paling tidak suka ada yang meragukannya dalam hal tanggung jawab.
“Aku sudah memeriksa sekaligus menandatanganinya. Justru aku yang menunggu hasil akhir slide presentasi darimu, jika kamu lupa,” sindir Raka pedas.
“Oke, oke, maafkan aku, Ka. Astaga, kamu benar-benar mengerikan jika marah,” kesal Andra.
Raka mengedikkan bahunya lalu kembali menghadap laptop di meja kerjanya. Ia mulai membuka dokumen dan mulai memeriksa email satu per satu. Sesekali terdengar senandung dari bibirnya.
Andra memilih pergi ke mejanya sendiri untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Daripada terus disindir oleh Raka, lebih baik segera selesaikan. Begitu pikirnya.
Baru seperempat jam berkutat dengan laptop, ponselnya berbunyi. Tidak ada nama kontak di sana. Hanya sederetan nomor tidak dikenal. Raka menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau di ponselnya.
“Halo, dengan siapa?” ucapnya sambil menautkan kedua alis.
Setelah mendengar jawaban dari seberang, senyum Raka mengembang.
“Padahal aku belum sempat meminta nomor ponselmu. Tapi ternyata, kamu sudah menghubungiku lebih dulu. Ada apa, Aar?”
Seseorang di seberang adalah Aarunya.
Ia menelepon karena dompet lelaki itu tertinggal di kedai kopi miliknya. Aaru mendapat nomor ponsel Raka dari buku tamu yang memang disediakan di sana.
“Baiklah, simpan saja dulu, Aar. Nanti saat jam makan siang akan aku ambil.” Raka menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap ponsel itu terkejut.
Aaru memutuskan sambungan sepihak setelah mengatakan terima kasih tanpa menunggu balasan Raka. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dalam hati, ia berteriak senang karena mendapatkan nomor ponsel Aaru tanpa perlu bersusah payah.
Ok, let’s start our journey to get a big pieces of Aaru’s heart, Caraka.
🍁🍁🍁
Matahari sudah bersinar terik meski waktu baru menunjukkan pukul 8 pagi. Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun terlihat sudah menjajakan koran di lampu merah. Ia beralih dari satu kendaraan ke kendaraan lain untuk menawarkan koran di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foregone
General FictionGeneral Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini juga tentang tiga lelaki dengan ambisinya masing-masing dalam menjadikan perempuan itu pendamping h...