15. Pain

167 37 9
                                    

Asap mengepul dari kopi racikannya. Tak mulul-muluk. Hanya kopi instan yang sudah mengandung gula.

Tangannya membawa segelas kopi dengan hati-hati. Ia akan menyuguhkannya untuk sang suami. Suhu yang cukup menusuk menemani pagi mereka dengan garang.

"Ini, Mas, kopinya. Diminum dulu." Segelas kopi diletakkannya di atas tikar yang mereka duduki.

"Besok-besok nggak usah buatin Mas kopi, Mir. Kita harus hemat," ucap Marjo.

Mirna mengangguk seraya tersenyum singkat.

"Iya, Mas. Lagipula, ini hanya sesekali. Masa' Mirna nggak pernah buatin Mas kopi, sih?"

Marjo mengelus pelan kepala istrinya itu. Ia mengerti maksud baik Mirna. Tak apalah, toh hanya sesekali, pikirnya.

"Sasa tidur lagi, Mir?"

"Nggak, Mas. Kan Sasa nggak pernah tidur lagi setelah subuhan sama kita. Dia lagi main di kamar," jelas Mirna.

"Mas." Marjo menoleh. "Sasa bisa sekolah nggak, ya, Mas kalau hidup sama kita? Aku pengen Sasa jadi anak berpendidikan meski dia bukan anak kandung kita."

Marjo tersenyum miris mendengar pertanyaan istrinya itu.

"Insya Allah, Mir. Mas juga pengen Sasa jadi anak yang berguna untuk masyarakat. Jangan putus berdo'a, ya."

Pasangan suami istri itu saling melempar senyum manis. Di otak masing-masing sudah ada banyak rencana-rencana untuk Sasa. Kembali lagi, mereka hanya bisa meminta diberikan yang terbaik oleh Tuhan Yang Maha Esa.

🍁🍁🍁

"Ilham, ayo main sama mereka," ajak Sasa sambil menunjuk ke arah dua orang anak di lahan kosong dekat rumah Ilham. Meskipun anak laki-laki itu tak dapat melihat.

Setelah mendapat anggukan dari Ilham, Sasa menuntun anak laki-laki itu dengan sabar. Senyum di bibirnya sama sekali tak pudar. Ilham pun sama. Anak laki-laki itu tak ada habis-habisnya tersenyum lebar hingga kedua lesung pipitnya terlihat. Manis.

"Sasa, kita mau ke mana?" tanya Ilham.

"Aku mau kenalan sama Kakak-kakak yang lagi main di sana."

Mereka berdua sampai di hadapan anak lelaki dan perempuan yang tengah bermain kelereng itu. Merasa ada orang lain yang memerhatikan mereka, kedua anak itu mengalihkan atensinya. Si anak perempuan berkruk berjalan mendekati Ilham.

"Hai, Ilham," sapanya.

"Ini Kak Laras, ya?" tanya Ilham saat berhasil mengenali suara anak itu.

Laras mengangguk dengan bersemangat.

"Hei, nama kamu siapa? Aku Laras." Laras mengulurkan tangannya ke arah Sasa.

Tak menunggu lama, Sasa menyambut uluran Laras. "Nama aku Sasa. Kakak yang itu ... namanya siapa?" Sasa memanjangkan leher agar lebih jelas melihat seseorang di belakang Laras.

"Namanya, Farhan."

"Ada Kak Farhan juga?" Ilham mencoba melangkahkan kakinya mencari keberadaan Farhan.

Belum sempat mencapai anak laki-laki berusia sembilan tahun itu, Ilham tersandung. Dengan cakap, Farhan menahan tubuh Ilham agar tak bersentuhan dengan kerikil-kerikil yang cukup tajam di bawah mereka.

"Hati-hati, Ham," tutur Farhan.

"Terima kasih, Kak," balas Ilham dengan santun.

"Kalian mau ikut main kelereng?" tanya Laras.

Sejenak Ilham terlihat murung sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tak bersuara sama sekali.

"Kan Ilham nggak bisa lihat. Bagaimana Ilham bisa main kelereng?" lirih anak itu.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang