“Kak Ila, adek bayi di perut Kakak kapan lahirnya?” tanya Sasa yang berada dalam gandengan tangan perempuan itu.
Mereka tengah jalan-jalan sore di jalanan kampung bersama Ilham, Hilya, juga Rafdi. Ilham sendiri berada dalam gendongan Rafdi dan Hilya berjalan di antara Sasa dan lelaki itu. Mereka berlima memang semakin dekat. Rasanya sudah seperti keluarga.
“Mungkin empat bulan lagi,” jawab Ila sembari tersenyum ke arah Sasa.
“Wah, Sasa bakal punya adik bayi, ya?” Sasa berjingkrak senang. “Udah nggak sabar.”
Rafdi terkekeh melihat tingkah sebaya Ilham itu.
“Kalau Ilham ... seneng, nggak, mau punya adik?” Giliran Rafdi yang bertanya pada seseorang di gendongannya.
Anak lelaki itu mengangguk antusias. “Kak Ila ... adek bayinya laki-laki atau perempuan?”
“Mana Kak Ila, tau, sih. Orang belum lahir,” cibir Hilya.
“Ish ... Ilham, kan, cuma tanya.” Ia mengerucutkan bibirnya.
“Ilham maunya adik laki-laki atau perempuan?” Ila mencoba membesarkan hati Ilham.
Ilham kembali tersenyum. “Sama aja, sih, yang penting sehat.”
“Sasa mau adik perempuan aja, deh, biar bisa didandanin sama Sasa.” Anak itu terkikik geli.
Ila, Hilya, dan Rafdi menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Sasa yang penuh kepolosan itu.
Mereka berlima berjalan menuju lapangan. Sore hari seperti ini biasanya di sana akan ramai oleh anak-anak yang bermain.
Sampai di sana, terlihat dua anak yang berjalan memghampiri mereka. Farhan dan Laras. Anak sebaya yang sering terlihat bersama itu tersenyum lebar mendapati Sasa dan yang lain.
“Akhirnya Kak Ila ke sini juga,” ujar Laras. “Nah, gitu, Kak. Sekali-kali Kak Ila yang nyamperin kita. Kan kita udah sering nyamperin Kakak di rumah Mbok Minah.”
“Heh, yang sopan ya kalau bicara,” sentak Hilya.
“Kak Ila aja nggak marah, kok. Wleeee,” balas Laras.
“Laras!” Farhan memperingatkan gadis itu.
Hilya tersenyum mengejek. “Tuh, kan. Kamu dimarahin Farhan.”
“Jangan berantem, dong,” tutur Rafdi.
“Nggak baik, loh, berantem sama temen sendiri,” timpal Ilalang.
Sasa melihat Hilya dan Laras secara bergantian. “Iya, ih. Malu, loh, sama Sasa dan Ilham yang lebih kecil.”
Tawa Ila, Rafdi, dan Farhan pecah begitu saja. Bahkan Ila sampai mencubit pelan pipi gembil Sasa.
“Kak Rafdi, turunin Ilham, dong,” pinta Ilham.
Setelah menginjakkan kaki di tanah, Ilham mencari keberadaan Farhan. Anak itu memang sangat senang bermain dengan Farhan. Di samping sifatnya yang sabar, Farhan juga suka mengalah pada Ilham hingga anak itu begitu sayang padanya.
“Main kelereng, yuk!” ajak anak itu sambil menggoyang-goyangkan tangan Farhan.
Farhan menyanggupinya dengan tersenyum. Berjalan menjauhi Rafdi dan yang lain, Farhan yang menggandeng Ilham menuju salah satu sudut lapangan yang teduh. Langkahnya diikuti Hilya, Sasa, dan Laras hingga menyisakan Rafdi dan Ilalang di sana.
“Mau berkeliling?” tawar Rafdi dan dibalasi anggukan oleh perempuan berbaju rumahan itu.
Mereka berjalan bersisian. Menyusuri pinggir lapangan dengan santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foregone
General FictionGeneral Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini juga tentang tiga lelaki dengan ambisinya masing-masing dalam menjadikan perempuan itu pendamping h...