Pagi yang cerah menyelimuti Jakarta hari itu. Orang-orang kampung sudah terlihat sibuk sejak fajar menjelang. Baik untuk beribadah, hingga mulai mengais-ngais rupiah.
Tak terasa, tiga tahun sudah gadis itu bersama mereka. Tumbuh dalam lingkungan keras namun sarat akan kasih sayang dan kebersamaan. Sejak dua tahun lalu, setiap hari, ia akan membantu mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk Marjo dan Mirna.
Sasa mengikuti jejak Farhan berjualan koran. Setiap pagi, ia akan ikut anak laki-laki itu berdiri di sekitar perempatan jalan. Menawarkan koran pada pengguna jalan yang berhenti karena lampu merah. Tak seberapa memang, tetapi cukup.
Laras masih setia menjadi penjual bunga dengan tongkat kruknya dan Diki yang masih sering mengganggu gadis cerewet itu. Ia pun tumpuh menjadi gadis kuat yang tak peduli cibiran. Logikanya berjalan dengan sangat baik hingga membuatnya dihujani pujian oleh teman-temannya.
Rafdi tumbuh menjadi lelaki 20 tahun yang bijak meski pekerjaannya tak berubah. Masih berusaha yang terbaik untuk membiayai pendidikan sepupunya, Hilya, yang kini sudah berada di tingkat pertama SMP.
Juga Koko. Anak 15 tahun dengan jiwa toleransi tinggi yang hidup semampunya bersama sang Ibu.
Masih ada Ilham. Sekarang ia membantu Ilalang mengajar anak-anak kecil dengan ilmu dan keadaan seadanya. Tidak ada bangunan khusus. Sesekali di lapangan, lebih sering di depan rumah Mbok Minah dengan menggelar tikar usang.
Ila sendiri punya kesibukan baru. Ia harus mengurus anaknya yang baru berusia 2 tahun dan membuat panganan kecil untuk dititipkan di warung-warung. Ia memiliki anak perempuan yang lucu. Namanya Hujan. Ila melahirkan saat hujan turun, tak ayal nama anaknya pun sama seperti peristiwa alam itu.
Hujan dilimpahi kasih sayang begitu besar dari mereka semua. Tidak peduli ia ada karena kebejatan seseorang. Bagi mereka, Hujan adalah adik yang istimewa.
Setelah menjual koran pagi itu, Sasa tak langsung pulang. Ia justru pergi ke rumah Ilham. Ia ingin bermain dengan si kecil Hujan.
Sampai di sana, ia sudah disambut oleh ocehan Hujan yang masih berantakan. Di sana juga ada Ila yang tengah duduk di depan rumah serta Ilham yang tengah menggambar.
“Hai, Hujan. Kangen, ya, sama Kak Sasa,” beo Sasa saat berhasil memeluk anak kecil itu.
“Sasa?” Ilham memastikan keberadaan gadis itu.
“Iya, ini Sasa temennya Ilham.” Sasa beralih dari Hujan dan duduk di samping Ilham.
Anak laki-laki itu segera mencari wajah Sasa dan merabanya.
“Ilham mau gambar wajah Sasa lagi?” tanya Ilalang.
Ilham mengangguk tanpa menghentikan aktivitasnya. “Kan kemarin yang gambar wajah Sasa, ketumpahan susunya Hujan. Jadi Ilham mau gambar lagi.”
“Ilham suka banget, sih, gambar wajah Sasa,” cibir Sasa.
“Biarin. Nanti kalo Ilham bisa lihat, biar nggak usah repot-repot tanya Sasa yang mana. Kan tinggal lihat gambar.”
Ila terkikik di tempatnya sementara Sasa memberengut kesal.
Satu jam. Sketsa wajah Sasa baru jadi. Dan kali ini, sketsa yang dibuat Ilham benar-benar mirip dengan Sasa. Jauh berkembang dari sebelumnya. Ila dan Sasa sampai berdecak kagum dengan kemampuan anak 9 tahun itu.
“Gambar ini akan aku simpen sampai kapan pun.” Ilham tersenyum lebar. Ia benar anak buta dengan anugerah luar biasa.
🍁🍁🍁
Tepat seminggu sejak wajah Sasa digambar kembali oleh Ilham. Malam itu ramai, seperti biasanya, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Marjo dan Mirna masih berbincang di luar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foregone
Fiksi UmumGeneral Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat batin dengan segala pesonanya. Cerita ini juga tentang tiga lelaki dengan ambisinya masing-masing dalam menjadikan perempuan itu pendamping h...