19. Drama Scene

165 40 7
                                    

Kedekatan Aaru dengan ketiga lelaki itu tidak ada perubahan. Jalan di tempat. Caraka masih sesekali mendatangi kedai milik Aaru, namun sangat jarang bisa bertemu dengan perempuan itu. Aaru terkesan menjaga jarak.

Pasal Kalingga, sudah terhitung satu bulan penuh sejak diskusi terakhir mereka, lelaki itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Aaru tak pernah berniat menjauh, sebenarnya. Kesibukannya bertambah sejak rencana membuka cabang baru mulai direalisasikan.

Aaru benar-benar mempersiapkan semuanya sendiri. Mulai dari mencari tempat strategis sampai mengurus surat-surat penting lainnya. Ayesha dan karyawannya yang lain hanya membantu sesekali saat senggang.

Tepat hari ini, persiapan dasar selesai Aaru lakukan. Ia hanya tinggal menunggu Ayesha dengan design yang diusungnya.

Seminggu yang lalu, Ayesha berhasil menyelesaikan sidang skripsinya dengan baik. Dan hari ini, ia akan menyampaikan gagasannya pada Aaru di kedai baru mereka.

Aaru sudah menunggu perempuan itu sejak lima belas menit yang lalu. Hanya ada dirinya di sana. Ia membunuh waktu dengan bermain ponsel. Tak berapa lama, Ayesha datang. Perempuan itu langsung mengambil tempat di samping Aaru.

“Udah lama nunggu?” tanya Ayesha.

Aaru hanya menggeleng sekali.

“Langsung aja kalo gitu. Jadi gini, karena kedai lo sebelumnya udah ngusung tema klasik, gue pengen buat yang ini lebih modern. Jadi, kesan milenialnya bisa lebih all out. Buat bedain sama kafe-kafe yang lagi nge-trend, kita bisa ngasih sentuhan seni.”

Aaru mendengarkan dengan cermat. Ayesha mulai membalik-balikkan tumpukan kertas yang dibawanya dan menunjukkannya pada Aaru.

“Gue punya kenalan anak seni rupa. Kebetulan dia juga lulus bareng gue tahun ini. Karya-karya dia udah terkenal di kalangan mahasiswa bahkan dosen. Beberapa kali juga dia ikut pameran nasional dan karyanya laku dengan harga nggak main-main.” Ayesha menunjukkan beberapa gambar dengan telunjuknya.

“Gambar-gambar ini adalah contoh hasil karya dia. Lo bisa lihat sendiri.”

Aaru memperhatikan gambar-gambar tersebut dengan serius. Memang benar, semuanya, menakjubkan. Ada kesan tersendiri saat Aaru melihat gambar-gambar itu. Sesuatu yang ... menariknya masuk ke dalam imajinasi si seniman. Sesuatu yang tidak bisa dijelakan Aaru dengan kata-kata. Setiap gambar punya makna yang dalam, Aaru yakin itu.

“Gue berniat ajak dia kerja sama buat ngelukis sepanjang tembok itu.” Ayesha menunjuk dinding putih polos di belakang mereka.

“Kita bakal dapat keuntungan yang nggak main-main, Aar. Gue bisa pastiin itu. Di samping karena kopi racikan lo dan barista-barista di bawah bimbingan lo yang emang udah terkenal enak, anak-anak muda juga pasti tertarik buat dateng karena design interiornya yang wah.”

Ayesha menghentikan ucapannya sejenak dan mengutak-atik ponselnya. Ia mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian akun instagram. Menemukan yang dicari, Ayesha memberikan ponselnya pada Aaru.
Aaru menerima ponsel Ayesha dengan kening berkerut.

“Itu akun instagram orang yang gue maksud. Lo bisa lihat karya-karya dia juga di sana. Tapi yang harus lo tau, lihat pengikutnya. Hampir tembus 1 juta followers.”

Aaru menggulir layar ponsel Ayesha pelan. Tidak ada foto pemilik akun sama sekali, semuanya hanya karya-karyanya. Bahkan nama akun itu bukan nama asli. Yang tertera hanya nama, The Dark Sketcher.

“Dia terkenal, Aar. Bahkan gue yakin seratus persen, dari banyaknya kenalan dia, pasti ada salah satu orang beken, lah.”

“Menarik. Tapi, apa kamu yakin?” tanya Aaru.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang