24. Recantation

150 35 1
                                    

Sudah dua hari lamanya Aaru tak menampakkan diri di kedai. Siapa pun tak bisa menghubunginya karena ponsel perempuan itu sudah hancur.

Raka juga sudah berusaha mendatangi rumah Aaru dua hari kemarin, namun nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan Aaru.

Hari ini, lelaki itu mencoba kembali peruntungannya dengan mendatangi rumah Aaru. Ia benar-benar kelimpungan mencari Aarunya.

Setelah panggilannya terputus begitu saja tiga hari lalu, Raka diteror rasa khawatirnya sendiri. Juga, ditambah dengan permintaan Aaru yang melenceng dari rencana awal mereka dan cerita yang terlontar dari Ayesha dan kawan-kawan.

Sepertinya, hari ini Raka beruntung. Ia mendapati sebuah mobil—yang ia yakini milik Aaru—terparkir sembarang di garasi.

Lelaki itu segera mengetuk pintu dengan tidak sabar. Tak ada sahutan. Akhirnya, Raka memutuskan untuk membuka pintu itu dan berhasil. Pintunya tidak terkunci.

Raka tidak tahu sekacau apa si pemilik rumah hingga perabotan di dalamnya berserakan tak beraturan. Bantal sofa berada di lantai, guci yang terdapat di sudut ruang tamu sudah pecah tak berbentuk, vas bunga, taplak meja, semuanya sudah teronggok di lantai keramik itu.

Pikiran Raka semakin tak tenang.

“Aaru,” teriaknya. Tak ada jawaban.
Ia mulai menaiki lantai dua—yang ia tahu—tempat kamar Aaru berada.

Sampai di depan sebuah pintu bercat hitam, ia kembali mengetuk pintu. Sama. Tidak ada jawaban.
Tak ingin sesuatu terjadi, Raka meraih handle pintu dan membukanya. Keadaan di dalam kamar Aaru tak jauh berbeda dari ruang tamu. Bahkan lebih parah. Pecahan kaca di mana-mana, buku-buku berserakan, pajangan-pajangan action figure juga sudah berserakan di lantai.

“Aaru, kamu di mana?” teriaknya lagi.

Raka berjalan menuju balkon. Kemungkinan besar perempuan itu memang di sana karena pintu menuju balkon terbuka lebar. Sinar mentari pagi itu menyusup pelan-pelan ke setiap sudut kamar Aaru yang berantakan. Raka memang pergi ke sana saat waktu belum genap pukul tujuh pagi.

Benar saja. Aaru tengah berdiri di balkon dengan tangan kiri menumpu pada pembatas yang terbuat dari besi.

“Apa-apaan kamu, Aar?” sentak Raka. Bukan lagi tatapan khawatir yang diberikannya, melainkan marah. Wajahnya merah padam.

Aaru yang terkejut langsung menoleh ke arah lelaki itu.

“Berikan yang ada di tanganmu,” perintah Raka dengan nada dingin.

Aaru masih bergeming. Merasa tak mendapat respon apa pun, Caraka berderap dengan cepat ke arah perempuan itu. Ia merebut benda kecil di tangan Aaru dengan kasar lalu menjatuhkan dan menginjaknya hingga hancur.

Napas Raka memburu. Ia mencengkeram pergelangan tangan Aaru karena perempuan itu hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Penampilannya pun lusuh. Kemeja yang dipakainya kusut masai. Ada noda tanah di mana-mana.

“Sejak kapan?” Cengkeraman Raka mengetat namun tetap tak direspon oleh Aaru.

“Jawab, Aaru,” teriaknya tepat di depan muka Aaru.

Raka mendesis. “Jawab atau aku akan melakukan cara yang sama seperti yang Rendra lakukan padamu. Bahkan lebih.”

Mata Aaru mulai membola. Ia menggelengkan kepala beberapa kali.

“Maka jawab,” tukasnya. “Sejak kapan kamu menyuntikkan barang haram itu ke dalam tubuh kamu?”

Aaru menggeleng semakin keras. Ia tak mau menjawab pertanyaan laki-laki di hadapannya.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang