13. Persuasion

180 41 17
                                    

Narendra Aryasatya. Lelaki ambisius dengan gaya mentereng yang ingin mendapatkan Aaru. Ia akan melakukan apa pun jika itu mewujudkan keinginanya. Termasuk melalui orang tuanya.

Lelaki itu tengah berdiri dengan angkuh di depan ruangan Aaru. Ia menunggu seseorang keluar dari sana.

Waktu sendiri sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rendra berniat menjemput perempuan berambut cepol itu.

Tak berapa lama, Aaru keluar dari sana sembari mengerutkan dahinya.

“Ayo, pulang,” tukas Rendra.

Aaru menghiraukannya. Ia berjalan mendahului lelaki itu setelah menutup pintu ruangan. Bukannya berjalan ke arah mobil Rendra, ia justru berdiri di pinggir jalan yang sudah lumayan sepi.

Iya. Aarunya Saraswati tengah menunggu seseorang. Lebih tepatnya, ojek daring yang dipesan beberapa menit lalu.

“Kamu nunggu siapa? Ayo pulang, sudah malam.” Rendra berdiri di samping Aaru.

“Aku memang mau pulang. Tapi bukan bersamamu,” tukasnya.

“Ayolah, Aar. Bahaya. Lagipula, aku sudah meluangkan waktuku untuk menjemputmu. Padahal aku sangat lelah,” ujar Rendra.

“Toh, kamu harusnya bersyukur masih ada yang peduli padamu,” lanjutnya.

Aaru menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu. Ekspresinya datar, namun kentara bahwa ia melayangkan tatapan menusuk.

“Aku tidak memintamu meluangkan waktu. Jika kamu lelah, itu bukan urusanku.” Aaru mengalihkan pandangan ke ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Oh iya, Mas Rendra. Aku tidak akan mati tanpa rasa pedulimu. Jadi, simpan peduli itu baik-baik.” Aaru mendongakkan kepalanya. “Atau mungkin ... gunakan itu untuk dirimu sendiri. Kelihatannya, kamu lebih membutuhkan.”

Sialan.

Sebuah motor berhenti di hadapan keduanya. Itu ojek pesanan Aaru. Tanpa mengatakan apa pun lagi pada Rendra, Aaru pergi.

Rendra mengepalkan tangan kuat. Napasnya memburu tanda menahan amarah. Tanpa banyak membuang waktu, ia berderap ke arah mobilnya dan mulai membelah jalanan. Tujuannya? Rumah Aaru tentu saja.

Dua puluh lima menit berkendara, Rendra sudah sampai di depan rumah minimalis bernuansa vintage itu. Gerbang sudah tertutup namun itu tak menghentikan langkahnya begitu saja.

Terlihat Aaru baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang berniat masuk ke dalam.

“Aaru!” seru Rendra membuat perempuan itu menghentikan langkah dan berbalik.

“Buka gerbangnya!” perintah Rendra dengan nada menusuk.

Bukan Aaru namanya jika langsung menururuti perintah orang lain. Ia hanya berdiri diam di tempatnya seraya menaikkan sebelah alis.

“Kita perlu bicara.”

“Kamu bilang lelah, Mas? Lebih baik kamu pulang, pulihkan kondisimu itu daripada menghabiskan waktu untuk mendebatku.” Aaru menyeringai.

“Buka gerbangnya, Aaru. Aku tidak akan mengulangi apa yang aku katakan untuk ketiga kalinya.” Rendra semakin geram.

“Maka jangan lakukan itu. Cukup dua kali dan silakan berbalik badan lalu pulang.” Seringaian Aaru masih bertahan.

Rendra mulai kehilangan kesabaran dan memukul gerbang rumah Aaru dengan tangan kanannya.

“Aaru.”

Seringaian Aaru semakin lebar bersamaan dengan ia menyilangkan kedua tangannya di depan.

“Aku rasa, salah satu rumah sakit jiwa sedang kehilangan pasiennya.”

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang