11. A Sincerity

173 40 10
                                    

“Ilham!” teriak Mbok Minah pada seorang anak lelaki yang tengah menggambar dengan alat seadanya.

Anak lelaki tersebut menoleh, mencoba mencari asal suara meski hasilnya akan tetap sama, gelap. Ilham namamya, umurnya enam tahun, sama seperti Sasa.

“Sini, Nak. Ini namanya Ilham. Cucu Mbok,” jelas Minah pada Sasa.

Sasa masih diam. Dahinya mengernyit samar. Anak di depannya tidak menoleh ke arahnya melainkan samping kiri Sasa meski anak itu tersenyum lebar.

“Nama aku Ilham,” ucap Ilham bersemangat ambil mengulurkan tangan.

Sasa menyambut uluran tangan itu dengan ragu, namun tak ayal tersenyum juga. Rupanya senyum lebar Ilham menular pada Sasa.

Meski masih kecil, Sasa tahu, bahwa Ilham ... tidak sepertinya. Anak laki-laki itu tidak bisa melihat.

“Kamu gambar apa?” tanya Sasa dengan polos. Ia mulai bisa berbaur dengan orang baru.

“Nggak tau, kayaknya gambar kapal.” Ilham menjawab dengan bersemangat.

Sasa melongokkan kepalanya ke buku gambar usang milik Ilham. Benar saja, itu memang bentuk kapal meski sama sekali tidak bisa dibilang rapi. Lebih mendekati abstrak.

“Gambar Ilham bagus. Sasa suka.” Sungguh, ucapan Sasa jujur. Gambar itu memang bagus meski tidak seperti gambar kapal pada umumnya.

Ilham tersenyum tambah lebar. Ilham merangkak mendekati Sasa yang terpaut jarak tak seberapa jauh.

Rumah Minah memang beralaskan tikar lusuh namun cukup bersih untuk duduk lesehan. Dan beberapa menit lalu, Ilham memang menggambar di sana.

Dengan perlahan, Ilham meraba wajah Sasa dan membuat gadis kecil itu agak kaget dengan perlakuannya.

“Ilham mau ngapain, Nak?” tanya Minah heran dengan tingkah Cucunya itu.

Ilham hanya diam dan masih meraba wajah Sasa dengan cermat. Dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir, dan dagu tidak lepas dari jari-jari Ilham.

“Sasa cantik. Nanti, kalo Ilham udah bisa ngelukis wajah, wajah Sasa yang mau Ilham lukis untuk pertama kali,” jelas Ilham setelah melepaskan tangannya.

Minah sendiri sudah tersenyum haru mendengar penuturan cucunya yang sudah tidak memiliki orang tua itu.

“Janji?” tanya Sasa.

“Pegang janji Ilham, Sasa,” jawab Ilham.

Kedua anak itu memutuskan untuk menggambar bersama. Sesekali Sasa tertawa dengan ucapan Ilham yang menurutnya lucu. Minah sendiri sudah beranjak ke dapur.

Selesai mnggambar, Sasa memberikan hasil gambarnya pada anak lelaki itu.

“Sasa gambar apa tadi?”

“Gambar mata Ilham.” Sasa menjawabnya dengan nada antusias.

“Kenapa mata Ilham?”

“Warnanya cantik.”
Ilham menghadapkan tubuhnya ke arah Sasa meski ia tak bisa melihat.

“Benarkah? Kata Mbok Minah, warna mata Ilham kayak warna madu,” tanya Ilham antusias.

“Iya, memang. Bagus.”

“Makanya Ilham seneng. Ilham memang nggak bisa melihat, tapi Ilham sayang sama mata ini. Kan kita harus bersyukur sama Tuhan.” Ilham tersenyum lebar sampai matanya tak terlihat.

“Ilham baik.” Sasa ikut tersenyum dengan manis.

Mulai saat itu, mereka berdua berteman baik.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang