Seorang gadis berjalan sendiri dari gerbang utama kampus. Sejak kemarin ia banyak diam, diajak bicara oleh Ayahnya pun ia hanya menjawab singkat padat. Seperti biasa banyak tatap mata mengarah padanya dan tak lupa juga nyinyiran pedas mereka.
"Please deh! Kapan dia keluar dari kampus ini?"
Salah satunya itu.
Di pikirannya Casya membenarkan itu. Kenapa ia pindah dari kampus lamanya? Apa karena banyak kenangan di kampus itu? Kenangan bersama kakaknya. Tidak ikhlaskah ia menerima kepergian kakaknya? Lalu bagaimana perasaan kakaknya di sana? Terlalu banyak pertanyaan di benak Casya. Rasanya dia ingin ikut juga bersama kakaknya ke sana.
Duuk!
Casya terpaksa menghentikan langkahnya, dilihat dari bawah itu sepatu pria. Ia mundur beberapa langkah, mendongkak untuk melihat siapa itu.
Oh!
Casya mendesah pelan mengetahui siapa dia. Tanpa menggubrisnya Casya berlalu begitu saja melalui Bryan. Berlama-lama dekat dengan pria itu membuatnya teringat pada seorang kakak. Mengingat Bryan adalah seniornya. Casya masih tidak mengetahui nama pria tersebut, seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada di sampingnya. Lelah sudah dia menangis seharian mengingat Cinta.
"Eh," gumam Bryan.
Dia mengikuti arah Casya pergi melalui ekor matanya. Tidak seperti biasa gadis itu langsung pergi. Bryan sedikit heran mengetahuinya. Jadilah ia pergi begitu saja, mengacuhkan semua hal yang terjadi.
•••
Sepatu putih yang ia kenakan mengayun ke depan belakang berulang kali. Duduk di tumpukan pipa besar yang membentuk piramida membuat ia nyaman mendudukinya. Entah sejak kapan ia menyukai bangku pipa itu. Intinya ia sangat suka berada di sini seraya mencuci mata dengan pemandangan segar di pagi hari. Setelah mengelilingi daerah komplek perumahannya, sudah menjadi kebiasaan istirahat di tempat ini.
Hanya sendirian tak membuatnya kesepian. Casya sudah berusaha mengikhlaskan semua. Bukan berarti mencampakkan kakaknya. Cukup seminggu ia berusaha dan akhirnya berhasil, hanya 90 persen. Kemajuan yang bagus menurut Casya. Ia sudah tidak perlu menangis akibat mengingat kakaknya.
Sore menampakkan langit jingga. Hitungan menit matahari akan tenggelam. Casya masih setia duduk di pijakannya. Sendiri hanya di temani bayangan. Menurut Casya ini sangat menyenangkan, tidak ada yang mengganggunya. Ia lebih suka menyendiri, lebih merilekskan pikirannya.
"Hei," sapa seseorang sambil memegang bahu kiri Casya.
Ia mendongkak, namun detik berikutnya Casya kembali menatap depan. Malas untuk menggubris pria itu.
"Yah, diabaiin," keluhnya.
Bryan duduk di sebelah Casya tanpa izin. Tadi saat ia hendak ke kostan gadis itu untuk mengembalikan diary yang sempat ia pinjam hari lalu. Dan ingin menanyakan beberapa pertanyaan setelah membaca diary gadis itu. Dan kebetulan dia menjumpainya di taman sepi ini lalu menghampiri dan berakhir duduk di sebelahnya.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Casya datar tanpa menoleh.
"Cuma mau ngembaliin ini." Bryan menyerahkan buku diary di hadapan Casya. "Sorry, waktu itu gue minjem ini tanpa sepengetahuan lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hoodie (TAMAT)
Teen FictionCerita masih lengkap :' Semua orang pasti mempunyai rahasia. Tidak terkecuali gadis ini. Rela pindah ke kampus lain demi menyembunyikan identitasnya yang asli. Dibalik hoodie, kaca mata hitam dan rambut panjangnya ada rahasia. Hanya keluarga dan Tuh...