◎ Hoodie 28 ◎

1.7K 122 0
                                    

     Casya tak sengaja melihat Cinta, segera ia menghampiri gadis itu. "Kak Cinta," panggilnya.

Namanya terpanggil, ia menoleh, menunjukkan wajah angkuh pada sang adik. "Mau apa lo nemuin gue? Ngemis minta tinggal di rumah? Sorry, gue nggak nerima adik munafik kek elo, apalagi sekarang udah jadi gelandangan," cerocosnya mengejek.

Casya mencoba bersabar. "Aku nggak butuh itu, aku cuma pengen ketemu sama Kakak, itu aja."

"Sekarang udah ketemu 'kan, apa gue boleh pergi?"

"Tunggu Kak, kita makan siang bareng yuk, aku yang traktir deh," mintanya.

"Nggak usah sok kaya, gue bisa beli makanan sendiri, lebih mewah dari yang lo makan," sombongnya.

"Aku tahu kak Cinta sekarang punya segalanya, tapi aku ingin kita akur kayak dulu. Hanya itu yang Casya mau Kak."

"Apa lo bilang? Akur? Yang ada Bryan direbut sama lo. Lo pikir gue nggak tahu akal busuk lo. Lo berusaha deketin gue, terus perlahan tapi pasti lo ambil Bryan dari gue, ya kan? Mimpi."

Casya menggeleng. "Kenapa sih Kak Cinta selalu buruk sangka sama aku? Bryan itu cuma temen aku Kak, dia bukan siapa-siapa aku. Dia seutuhnya milik Kakak, kapan aku pernah ngambil milik Kakak, apalagi ini tunangan Kakak, yang akan jadi kakak ipar aku. Aku nggak setega itu ngambil cinta Kakak."

"Kakak boleh ngelakuin apa aja ke aku, mau rusak aku, mau bunuh aku, aku nggak papa. Tapi aku mohon Kakak jangan kek gini, mana Kakak yang selalu sayang sama aku, ngelindungi aku, nggak mau lihat adiknya nangis, mana Kak? Kak Cinta sekarang berubah. Apa Kakak ada masalah yang belum selesai?"

Cinta sejak tadi menulikan telinganya, berdehem sendiri saat Casya mengomel. Ia kembali menatap Casya.
"Udah ngomongnya? Udah berbusa itu mulut? Kalau gitu, giliran gue ngomong."

"Lo boleh ngomong apa aja, tapi jangan ngungkit-ngungkit masalah berubah. Gue nggak berubah, dari dulu gue emang gini, lo nya aja yang berubah. Lo pengen di manja 'kan? Dari dulu lo emang gitu, lo selalu iri ke gue. Lo mau ini mau itu, semuanya harus di turuti. Dan akhirnya apa, gue kasih semuanya 'kan? Lo punya semua barang gue."

"Tapi Bryan, dia bukan barang. Gue nggak rela lo ngambil dia dari tangan gue. Ambil semua barang gue, tapi sekali lagi jangan ambil Bryan, lo paham kan maksud gue?"

"Bryan! Bryan! Bryan! Kenapa selalu Bryan yang jadi topik masalahnya. Gue nggak suka sama dia, gue nggak cinta sama dia, apa itu semua belum cukup? Asal lo tau ya, gue itu suka sama David, dia pilihan gue, dia cowok gue. Gue udah punya cowok sendiri dan lo juga! Lalu kenapa lo selalu nyangkutin Bryan di setiap kali kita ngomong?"

"Lo terlalu posesif ke dia, padahal kita cuma nggak sengaja ketemu, gue juga jaga jarak ke dia. Karna apa? Karna gue jaga perasaan lo Kak, gue sayang sama lo. Gue mau kita akur kayak dulu, nggak ada perdebatan kayak gini. Gue pusing mikirin hubungan keluarga kita yang retak, apa lo nggak ngerasain itu, hah?!"

Kali ini Casya sudah kehilangan kesabaran. Emosinya tersulut sampai melontarkan bentakan itu pada kakaknya. Seumur hidupnya ia tak pernah membentak Cinta seperti ini. Nafasnya kini menggebu.

Cinta menatap nyalang Casya, kebenciannya pun semakin bertambah. Detik berikutnya ia berhasil menampar wajah itu. "Puas lo bentak gue?! Makanya Ayah sama Ibu nggak pernah nerima lo dalam keluarganya, karna mereka tahu sifat lo itu buruk sejak kecil."

Dalam kondisi apa pun, Casya masih berani membalas tatapan itu. "Bukan sifat gue yang buruk, sifat lo lebih buruk! Mana ada saudara ngejebak saudaranya sendiri. Itu adalah sifat lo yang paling buruk, dan semua itu cuma karna satu cowok, satu. Lo berani ngejebak gue kalau lo ada taruhan sama Zem, nyatanya apa. Oke, gue akui gue emang bodoh nerima ajakan lo. Gue pikir lo kembali sayang sama gue kayak dulu." Casya menggeleng pelan tak percaya.

"Gue punya benci sama lo Kak, yang awalnya niat itu baik, sekarang jadi buruk. Bryan terus yang lo pikirin, lo nggak pernah pake otak lo buat nyelesaian masalah. Malah tambah runyam, lo seharusnya ngaca di cermin besar. Agar lo tahu, diri lo itu kayak gimana. Gue capek, ngingetin lo terus, sekarang terserah lo. Mau gini terus, atau gimana. Lo lebih tua dari gue, otak lo pasti lebih dewasa dari gue. Makasih udah dengerin gue." Selepasnya Casya pergi, hatinya terlalu hancur setelah berbicara dengan kakaknya. Otaknya benar-benar lelah memikirkan masalah ini.

Ia berkali-kali menarik rambutnya ke belakang, kepalanya terasa berat, di tambah lagi rasa sakit di pipinya. Saking terlenanya ia sampai menabrak dada seseorang. Ia sedikit memundurkan tubuh lalu mendongkak. Matanya bertambah panas kala cowok itu datang lagi di hadapannya.

"Gue tahu lo marah sama gue, tapi—"

"Gue nggak butuh penjelasan lo," potongnya dengan menengadahkan kepala agar air itu tak lolos.

"Casya, ada satu hal yang perlu lo tahu, kalau gue—"

"Cukup! Gue bilang cukup, kepala gue penuh. Jangan lo tambah lagi dengan ngungkit malam hina itu," tajamnya.

"Lo dengerin gue dulu Cas!" kesal Zem memegang bahu Casya.

"Apa yang harus gue denger? Kalau malam itu menyenangkan buat lo, iya kan?" Ia menghempaskan kedua tangan Zem di bahunya secara kasar.

"Bukan! Gue nggak pernah ngerusak lo Sya, lo masih suci," beritahunya.

Casya menggeleng. "Bullshit! Lo cowok paling gue benci, paham?!"

"Lo boleh benci sama gue, tapi lo harus percaya kalau gue nggak pernah ngerusak lo. Gue cuma nyium lo itu aja."

"Kenapa lo nggak sekalian lakuin aja hah?" Dan akhirnya air itu lolos dengan seenak hati

"Karna gue suka sama lo," jujurnya.

Casya diam tak bergeming.

Zem mengambil tangan Casya. "Maafin gue kalau nurutin kemauan Kakak lo yang bodoh."

Casya nampak panik, mencoba menarik kembali tangannya. "Lepasin Zem."

"Gue bakal lepasin kalo lo mau maafin gue."

"Itu artinya lo maksa gue, Zem." Casya terus menarik tangannya, mungkin saat ini tangannya itu sudah memerah.

"Lepasin dia!" suruh David tiba-tiba datang.

Melihat kekasihnya datang, ia mengambil kesempatan langsung menarik tangannya paksa hingga terlepas. Casya segera bersembunyi di belakang tubuh David.

David melihat sekilas Casya, kemudian menatap tajam Zem. "Apa yang lo mau?" tanyanya ketus.

"Kasih tahu ke dia, kalau gue minta maaf karna udah nurutin kemauaan kakaknya yang gila." Selepasnya dia pergi begitu saja.

"Gila?" gumam David, ia membalikkan badannya menatap Casya. "Cinta gila?"

Casya menggeleng. "Gue nggak tahu."

"Kalau gitu cari tahu," antusiasnya menarik tangan Casya pergi.

"Gue nggak yakin kalau Kak Cinta itu gila, Vid. Dia sadar, dan hidupnya juga bahagia."

"Kita akan tahu nanti, Sya."

Gue nggak yakin ini, Vid, batin Casya pelan.

●○●○●○●○

\ʕ •ᴥ•ʔ/

Hoodie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang