Kini, cewek itu duduk di pojok kamar. Ia diam hampir selama setengah hari. Tak makan, dan tak melakukan aktivitas apa pun selain diam. Matanya bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata, dan sekarang mungkin air mata itu telah habis. Dia memandang kosong depan, sangat sunyi dan mencekam. Karena ia tak menghidupkan lampu satupun di kostnya ini. Biarlah dia menjadi manusia bisu, tuli, dan buta. Siapa juga yang menganggapnya ada.
Orang yang selama ini ia percya, dia juga pergi. Dengan membawa tangan kosong akan kebenaran. Siapa lagi nanti yang akan menarik ulur hidupnya? Adakah orang lain lagi?
Kata keluarga, seakan asing baginya. Mereka tak lagi membagi kasih sayang pada dirinya, sekarang ia adalah manusia cacat yang tak mempunyai tujuan hidup, tak ada penopang, dan tak ada motivasi.
Apa dirinya harus mengemis menangis darah untuk memiliki sebuah kata kebahagiaan. Memang, tak lama sebelum ini ia merasa bahagia. Di kampus baru, berjumpa dengan tiga cowok bersahabat. Awal yang menjengkelkan sekaligus seru. Lalu datang dua hati menemui dirinya, dan ia memilih satu hati itu. Orang yang ia percaya akan selalu memberikan sandarannya.
Kejadian buruk yang tak terduga selalu datang dengan seenaknya. Tak memikirkan apa itu waktu dan kondisi. Kegelapan mulai menyelimuti, walupun angin malam sudah masuk ke tulang iganya, ia tak peduli, apalagi orang lain. Sekarang apa yang akan ia lakukan, ia tak tahu. Semua serba tak tahu, ingin bertanya pun kepada siapa? Sahabatnya? Kekasihnya? Atau keluarganya? Siapa di antara mereka yang akan mendampingi hidupnya? Tidak ada! Hanya bayangannya yang setia berada di belakang.
Walaupun perutnya sudah berdemo sejak tadi, Casya mengabaikan. Tidak peduli dengan semua hal, termasuk kesehatannya. Otaknya mulai bekerja, ia berkata bahwa dirinya harus pergi ke tempat di mana raga dan jiwanya dianggap. Tempat yang bisa membuatnya bahagia, tersenyum, menghilangkan kegelapan. Di mana tempat itu? Ia juga tidak tahu. Hanya ada satu cara untuk mendapatkannya, yaitu dengan mencarinya. Tidak peduli itu kota asing atau negara asing. Dirinya harus pergi. Harus.
Dia perlahan berdiri, sejak pagi belum makan dan hanya menumpahkan air dari kedua matanya, membuat badannya rapuh. Padahal usianya masih muda untuk disebut nenek tua.
•••
David berbalik ketika namanya terpanggil oleh Milla, ia menunggu sampai adiknya berada di hadapannya.
Mila menyodorkan dua buku yang ia ambil dari perpustakaan pribadinya.
"Tolong kasihkan ke Kak Casya, aku yakin dia bakal suka, soalnya cerita ini bagus di antara yang lain.""Jangan sebut nama itu lagi," ucapnya dengan mata berkilat.
Mila langsung menurunkan tangannya, ia paling takut dengan tatapan tajam kakaknya, apalagi ayahnya. Mata kedua lelaki itu sama.
"Ka-kakak ada masalah sama Kak Casya?" tanyanya takut-takut.David menetralkan tatapannya, ia tahu adiknya akan takut dengan tatapannya tadi. "Bukan urusan kamu." Ia kembali berbalik melanjutkan jalannya menaiki tangga yang sempat tertunda tadi.
Mila masih diam di tempat. "Masa iya secepat itu mereka mengakhiri semuanya?" gumamnya. "Eh! Jangan ngacok Mil, mungkin aja mereka ada masalah kecil. Nanti pasti baikan kok," lanjutnya, ia kembali masuk ke kamar yang ada di lantai dasar, karna ia takut akan ketinggian, alhasil kamarnya ada di bawah.
David duduk di tepi ranjang, ia lelah, sungguh lelah. Hubungannya belum genap seminggu dan kini sudah kandas. Tanpa sebab pula, ia juga masih trauma dengan kejadian tadi pagi, berani-beraninya tangan ini menampar pipi itu. Kenapa egonya tak bisa ia kendalikan? Ia ke kost gadis itu untuk mendengarkan penjelasannya, bukan malah mencampakkannya. Sekarang siapa yang bodoh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hoodie (TAMAT)
Teen FictionCerita masih lengkap :' Semua orang pasti mempunyai rahasia. Tidak terkecuali gadis ini. Rela pindah ke kampus lain demi menyembunyikan identitasnya yang asli. Dibalik hoodie, kaca mata hitam dan rambut panjangnya ada rahasia. Hanya keluarga dan Tuh...